bab 14

11 3 3
                                    

Sudah hampir sebulan semester 2 dimulai, Try Out makin sering diadakan. Tak ada yang terjadi, Devan tetap cuek saja. Aku makin merasa bahwa dirinya di Malang hanya imajinasiku saja.

Sekarang sedang bel istirahat, aku tidak lapar, jadi aku memutuskan untuk diam di kelas saja, mendengarkan lagu menggunakan earphone. Semester dua, murid-murid sudah banyak akal untuk mengumpatkan handphone agar tidak dikumpulkan ke BK.

Aku membuka buku gambarku. Melihat gambar-gambar yang aku hasilkan semenjak liburan. Membenarkan beberapa yang bagiku masih kurang. Aku tak sadar, tiba-tiba Devan sudah di sampingku—memperhatikan.

"Itu gambar lo?" tanyanya mengagetkanku.

"A-ah, iya," jawabku gugup.

"Bagus juga, gue boleh lihat?" tanyanya, pipinya memerah, senyumnya malu-malu terbentuk. Menggemaskan sekali. Dia menahan tangannya di meja dan kursiku, membuat wajahnya semakin dekat denganku. Apa dia tidak sadar posisi ini membuatku deg-degan? Untung saja kelas sedang sepi.

"B-boleh."

Dia membawa bukuku dan duduk di kursinya. Dia membuka lembar-perlembar—tertarik. Aku hanya memperhatikan wajahnya. Kapan lagi aku bisa memperhatikannya seleluasa ini?

Tiba-tiba dia menoleh kearahku. Aku dengan gugup mengubah arah pandangan.

"Bagus-bagus, lo jago juga," pujinya.

Wajahku memerah, menahan rasa senang di hati. "I-iya makasih ya."

Dia mengangguk, lalu memakan makanannya yang sudah ia beli di kantin. Aku menatap buku gambarku, tapi pikiranku tidak ada di buku gambarku, aku berpikir kapan teman-temanku akan datang supaya aku tak berada di kondisi canggung seperti ini.

🔰🔰

Beberapa hari lalu, guru IPS-ku mengumumkan akan ada praktek masak dua minggu kedepan. Saat pembagian kelompok, aku tak henti-hentinya berdoa agar sekelompok dengan Devan. Tapi nyatanya, aku malah sekelompok dengan teman sebangku Devan—Rendi. Aku hanya bisa pasrah, lagi tidak buruk juga.

Hari ini praktek akan dimulai. Semua murid membawa bahan yang sudah disepakati. Aku menyuruh temanku, Dion, untuk membawa lauk. Tapi dia tidak membawanya sama sekali. Kelompokku seperti orang kebingungan. Aku mencari berbagai macam cara untuk mencari lauk. Dan temanku si Dion itu, sungguh tidak peduli sama sekali.

Pertamanya aku ke kantin bersama Rendi untuk mencari gorengan atau apalah. Tapi nahas, hari itu kios gorengan belum buka, aku semakin bingung. Di kelas kami hanya melihat teman-teman sibuk menghias hidangan mereka.

Aku mencari inisiatif sendiri. Siapa tahu kios gorengan di kantin sudah buka? Aku pergi kesana sendirian, tapi kios belum buka juga. Aku bertanya pada pedagang lain, katanya hari ini kios itu memang tidak buka. Aku bergegas mencari cara lain. Aku memutuskan untuk ke koprasi. Untungnya koprasi sudah buka, dan sudah ada gorengan tertata rapi disana. Aku langsung membelinya, tanpa peduli harga yang aku bayar.

Aku kembali ke kelas melihat Rendi sedang marah-marah karena mengira aku kabur begitu saja. Tapi ada Devan bersama Rendi, sedang menenangkan Rendi sepertinya.

"Tuh kan udah gue bilang, Ren. Dia pasti cari makanan atau apalah, jangan marah-marah dulu dong," ujar Devan membelaku.

Aku tidak tahu aku berlebihan atau gimana, tapi di lubuk hatiku ada rasa senang ketika dia berucap seperti itu. Rasanya seperti dibela dan dilindungi.

Tuhan, kenapa hatiku selalu tak bisa dikontrol ketika dia ada di sampingku?

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang