bab 51

4 2 2
                                    

Ini sudah sebulan aku ada disini, sebagai janjiku dengan Mamah Devan, aku memutuskan untuk pulang. Dia sudah memesankan tiket pesawat untukku, aku benar-benar dibuat terharu karenanya.

Siang nanti aku berangkat dan sekarang aku baru saja bangun tidur. Tiba-tiba handphoneku bergetar, aku melihat nama yang muncul di layar, itu Rendi. Aku mengangkatnya. Dari ujung telpon aku mendengar suara Rendi panik.

"Dhiraa!!! Dhira cepat kesini! Devan kritis!"

Tanpa pikir panjang, aku mengambil jaketku, memesan ojek. Aku benar-benar panik dibuatnya. Berkali-kali aku menyuruh ojek itu supaya berkendara lebih cepat. Aku menggigiti ujung kukuku, mulutku tak henti berdecak sebal, dan rasanya bibirku sudah pucat sekali.

Aku sampai di rumah sakit, berlari dengan cepat sekali. Aku sampai di kamar Devan, dan sudah sangat-sangat ramai. Aku melihat Mamah Devan menangis tersedu-sedu di pelukan Papah Devan, Rendi dan Yuna juga menatapku sedih. Aku melihat ke arah dokter dan suster yang sedang menaruh alat defibrilator di dada Devan dan menyetrumnya berkali-kali, lalu aku buru-buru menatap mesin EKG.

Grafik itu ... grafik itu ... hampir lurus.

Aku hendak berlari ke arah Devan, tapi Rendi menahan tanganku.

"Jangan dulu, Ra!"

"TAPI DIA SUDAH INGIN PERGI RENDI!" teriakku kepadanya.

"DOKTER ITU TIDAK BISA MENYELAMATKANNYA!" Aku meracau dan tidak peduli apa aku salah atau tidak.

Rendi tidak melepaskan tanganku. Aku berkali-kali berontak minta di lepaskan. Akhirnya Yuna mendekati dan memelukku—memberiku ketenangan.

Tiba-tiba dokter itu berbicara, "Bu, Pak, maaf...."

Aku menoleh dan melepas pelukan Yuna, dan tiba-tiba ku dengar suara nyaring yang tidak terputus dibarengi dengan gambar grafik yang melurus di ujungnya.

Aku tercekat, dan melompat ke tubuh Devan, menggoyang-goyangkannya. Berharap bisa membuat jantungnya berdetak kembali. Grafik itu sudah lurus setengah.

"Devan! Devan bangun!"

"Aku mohon Devan!" ucapku sambil menangkup salah satu tangannya dan membawanya ke pipiku.

"Banyak yang belum kita lakukan, Sayang," ucapku tak kuasa menahan air mata.

"Aku sudah menunggumu bertahun-tahun, dan kamu sudah menungguku bertahun-tahun. Kita berhak mendapat akhir yang bahagia, Devan. Bukan akhir yang seperti ini."

"Perasaan tulusmu belum terbalas oleh apapun. Jadi beri aku kesempatan untuk membalasnya. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakanmu. Aku akan ada di sampingmu. Devan tolong bangun, jangan pergi ketika aku belum siap seperti ini."

Aku masih menggenggam tangannya lebih erat. "Kali ini aku berharap. Harapan yang tak pernah kuberi pada siapapun dan hanya untukmu. Aku berharap kamu bangun dan sehat kembali. Hanya itu."

Suara tangisanku memenuhi seisi ruangan. Grafik itu hampir sempurna menjadi lurus.

"Kamu malaikatku Devan. Kamu penolongku. Kamu pemberi semua yang tidak pernah aku dapatkan. Terimakasih sudah melakukan semua yang terbaik untukku. Maafkan aku yang baru menyadarinya sekarang. Sekarang aku hanya ingin kamu bangun, dan tidak ada yang bisa aku pinta lagi, Devan. Devann!" Aku membenamkan wajahku di dadanya. Aku benci menangis di depan banyak orang, tapi kali ini aku membantah semuanya karena tidak ada yang bisa aku pikirkan kecuali Devan.

"Devan ingat janjinmu, aku mohon." Aku sudah tidak tahu harus berucap seperti apa lagi.

Aku memeluknya dan menciumnya berkali-kali. Berharap ini hanya sebuah mimpi buruk yang hadir setelah mimpi buruk. Aku memejamkan mataku, mengepalkan tanganku, kepalaku tak henti-hentinya berdenyut. Beberapa saat kemudian semua di sekitarku sudah gelap.

Grafik itu sempurna lurus dibarengi dengan aku yang terjatuh ke lantai tidak sadarkan diri.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang