bab 4

14 4 0
                                    

••
Masih berdiri di atas kakiku sendiri, masih jadi boneka di bumi ini. Tanpa ada yang tahu aku sakit, patah, atau juga hancur.
••

Makan malam selesai begitu saja. Aku kembali ke kamar—mengerjakan PR untuk besok. Ayah menonton TV, dan Ibu yang masih sibuk di dapur, entah melakukan apa.

Aku membuka buku PR IPA-ku. Tak semangat. Bagiku PR itu menyebalkan. Bagaimana anak bisa diukur rajin atau tidaknya hanya karena mengerjakan PR atau tidak? Sebagian besar guru berkata bahwa, dengan diberi PR anak akan belajar di rumah. Belajar dari mana? Anak zaman sekarang sudah canggih bukan? Mereka akan membuka brainly di google atau men-chat temannya untuk meminta contekan. Lalu akan pintar dari mana?

Ya, aku seperti anak kebanyakan. Membuka brainly, mencari jawaban yang menurutku tepat, lalu menyalinnya. Selesai hanya dalam waktu 15 menit untuk 20 soal essay. Terlihat semudah itu, dan yang jelas, aku juga merasa sepintar itu.

Aku membaringkan tubuhku di kasur. Merekam kembali wajah pria yang sedang bermain gitar itu. Aku sadar, aku selalu tertarik pada hal yang tak disangka-sangka. Bahkan banyak teman priaku yang bermain gitar sepertinya, tapi aku tertariknya pada dia—Devan namanya. Aku tersenyum, menghela nafas, memejamkan mataku, melalukan aktivitasku—berkhayal, lalu tanpa disadari tertidur.

🔰🔰

"Masih pagi lho, Jes," ucapku ketika baru saja sampai di kelas, sembari menarik bangku, dan melihat Jessi sudah bermesraan dengan game Hay Day kesayangannya.

"Gabut daritadi, lo dateng lama banget, gue sampe lumutan." Jessi lagi-lagi menggerutu.

"Eh- Jes," panggilku.

"Apaan?" jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari handphone.

"Lo tau Devan dulu kelas 8 berapa?" Pertanyaan random seperti itu tiba-tiba lolos dari mulutku.

"Sekelas sama gue, 8D. Emang kenapa?"

Aku hampir terlonjak kaget. Padahal dulu aku sering ke kelas itu. Menyamper temanku yang juga teman Jessi untuk upacara bersama —karena Via yang sibuk jadi paduan suara dan Naura yang selalu datang telat, tidak bisa menemaniku upacara.

Bagaimana bisa aku seasing ini dengan wajahnya? Seakan aku baru melihatnya? Penyakit ini membuatku secuek itu kah?

Kan ku jelaskan sedikit apa itu Alexithymia. Walaupun aku tidak kronis tapi ini sempat sedikit diperparah karena keluargaku dua tahun lalu.

Penyakit ini adalah fenomena psikologis dimana penderitanya tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara verbal, tidak bisa mengenali emosi, lebih mengandalkan logika dibanding perasaan, bahkan memperlihatkan perasaan pun sulit.

Sering terjadi ketika aku ingin menceritakan masalahku kepada teman. Aku sudah merangkai kalimatnya dalam pikiran, tapi mulutku tidak bisa bergerak sama sekali. Menyakitkan—hanya bisa kutahan sendiri.

Aku masih bisa mengenali emosiku, tapi tidak dengan mengungkapkan perasaanku. Setiap kali aku bercerita mengenai perasaanku, beberapa jam kemudian pikiran setan itu muncul. Aku seakan langsung tak percaya lagi pada siapapun. Pikiranku berkata bahwa, mereka akan menertawakan masalahku, membicarakanku, ekspresiku yang berlebihan, aku yang lemah. Padahal tidak, itu hanya ada di pikiranku.

Dengan kata lain, juga ketika aku mulai menyukai seseorang seperti saat ini. Menatap matanya saja tidak berani.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang