bab 10

8 3 2
                                    

"Habis dari kantin ya?" Pertanyaan bodoh seperti itu muncul dari mulutku sambil menunjuk wajahnya.
Aku persis seperti pemabuk saat ini. Rambut berantakan, kantung mata besar, dan juga JELAS SAJA DIA DARI KANTIN, KENAPA AKU MASIH BERTANYA?

"Iya," jawabnya sambil mengangguk.

Tuh kan memalukan, ucapku dalam hati.

Gerbong bergoncang begitu keras dengan tiba-tiba. Aku tak kuasa menahan tubuhku. Peganganku terlepas, itu tandanya sebentar lagi aku akan jatuh. Aku menutup mataku—karena aku tahu ini akan sangat memalukan.

Tiba-tiba aku merasa tanganku ditarik, dan tubuhku hanya bisa mengikuti kemana tanganku ditarik. Aku jatuh di dekapan seseorang—Devan. Salah satu tanganku berada di dada bidangnya, dan yang satunya masih dia genggam. Salah satu tangannya ada di pinggangku untuk menahan tubuhku. Aku memperhatikan wajahnya, dekat sekali. Matanya tak mengalihkan pandangan dari mataku. Aku tak tahu, tapi mungkin wajahnya terlihat sedikit khawatir?

Aku buru-buru bediri tegak, begitu juga Devan. Dia menggaruk tengkuknya, dan aku salting berkali-kali mengucapkan terimakasih padanya. Kopinya sudah tumpah ke lantai karena buru-buru menyelamatkanku.

"Ah, kopi lo tumpah, gue ganti deh, maaf ya, ayo ke kantin!" ajakku karena sudah merasa bersalah.

Sejak tadi Tisa tidak keluar-keluar dari toilet juga. Sebenarnya apa yang dilakukan bocah itu sih? Tapi untung saja tadi dia tidak melihatnya. Tanpa pikir panjang aku berteriak kepada Tisa, "Sa gue ke kantin bentar, lo balik sendiri, maaf ya." Aku buru-buru pergi tanpa menunggu jawaban dari Tisa, aku menarik tangannya, dan dia tidak mencegahnya.

"Padahal gue ga minta digantiin lho, ga usah aja yuk," ucapnya saat sampai di kantin. Keadaan kantin lumayan ramai, banyak orang yang sedang menghabiskan waktu disana, tak jarang ada yang memperhatikan aku dengan Devan. Tapi aku tak peduli, aku kesini hanya untuk mengganti kopinya.

"Udah ah gue ganti, lo mau bikin gue ga tenang karena ga ganti kopi lo?" jawabku memaksa.

Devan hanya diam tanda menurut. Aku membayar dan memberikan kopi itu padanya. Dia mengangguk dan mengucapkan terimakasih, lalu kami berjalan kembali ke gerbong.

"Hati-hati kalau jalan, lo pendek, nanti keinjek," katanya sambil tersenyum jahil. Baru kali ini aku sadar ternyata orang ini bisa menyebalkan juga.

"Lah lawak," jawabku pura-pura tak peduli. Dalam hati aku ingin sekali tersenyum. Aku senang sekali, apalagi mengingat kejadian tadi.

Aku sampai ke tempat duduk. Sedikit menjaga jarak dengan Devan agar terlihat tak bersama, Tisa sudah ada di tempat duduknya, dan juga sudah terlelap lagi. Bagus lah, aku tak perlu mencari alasan mengapa meninggalkannya.

Malam itu, aku semakin tidak bisa tidur, dan semakin tak henti-hentinya menahan senyum. Menatap keluar jendela yang sejatinya hanya gelap. Aku mencoba bertelepati dengan bintang, mengajaknya berbicara, menceritakan apa yang aku rasa. Hanya dia yang bisa aku ajak bicara saat ini. Ya itulah aku, dengan segala penyakit menyebalkan ini.

Aku menghela napas, mencoba menutup mataku. Dalam hati aku masih berdoa. Semoga hal baik akan selalu datang kepadaku seterusnya.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang