bab 19

6 3 0
                                    

Aku duduk di kursi kantin paling pojok, membaca note itu. Kali ini, tulisan di note berwarna merah muda itu lumayan panjang.

Selamat menikmati es krim yang manisnya sama seperti yang makan, tuan putri. Aku tidak tahu kamu bertanya pada penjual itu atau tidak tentang siapa aku, tapi jika kamu bertanya, akan percuma karena aku tak memberi tahu namaku. Besok, sepulang kelas, jangan lupa untuk datang ke central kota, kamu akan melihat pertunjukan yang menarik, dan aku akan selalu pastikan kamu tak akan bersedih lagi, tuan putri :)

Aku baru sadar, bahkan sangking bingungnya aku sampai tidak bertanya apapun pada ibu penjual itu. Es krim ini rasanya biasa, tapi saat ingat ini khusus untukku, rasanya jadi sangat istimewa.

Baru kali ini aku senang hidupku diatur.

🔰🔰

Aku membantingkan tubuhku ke kasur. Sebuah notif masuk ke handphoneku.

                            Ibu

Gimana kabarmu?

Aku baik-baik saja. Ayah sama Ibu gimana?

Ya kamu tahu, masih sama, ahahaha ada yang kurang rasanya jika satu hari tidak bertengkar.

Tetap jaga kesehatan ya, Ibu, Ayah.

Ya, kamu juga hati-hati.

Aku cukup lega, bahwa Ibu tidak terlalu mengambil serius jika mereka bertengkar—mungkin Ayah juga seperti itu.

Aku beranjak menuju meja belajarku. Mengambil 3 note yang sudah ada. Aku tersenyum, pipiku memerah, aku menghentak-hentakan kakiku—gemas, aku gemas sekali dengan orang yang memberi ini. Tak peduli dia pria atau wanita, tapi yang jelas, dia perhatian sekali.

"Siapa sih kamu? Pangeran atau bidadari-kah? Kamu membuat putrimu ini kebingungan," ocehku pada kertas-kertas ini.

"Terimakasih atas semangat yang kamu berikan, orang asing sepertimu malah yang selalu membuatku tersenyum dan penasaran."

Aku membawa kertas itu menuju dinding kamar di atas kasur. Menempelnya di dinding, dan mengaturnya agar terlihat rapih. Aku tersenyum. Besok aku pasti akan ke central kota, ujarku dalam hati.


🔰🔰

Gawat, pagi ini sungguh gawat. Aku telat berangkat ke kampus, dan saat aku sudah sampai sana, kelas sudah dimulai. Aku memikirkan banyak cara, tapi yang ada malah pikiran setan yang muncul. Ya, aku memilih untuk membolos kuliah hari ini. Lagi juga, aku belun pernah membolos.

Aku memutuskan untuk pergi ke ibu penjual es krim tempo hari. Aku berjalan riang, melompat-lompat sedikit agar tidak terlihat gila.

"Ibuu!!!" teriakku mengagetkan ibu penjual yang sedang merapihkan dagangannya.

"Aduh bikin kaget aja! E-eh, ini Neng Dhira yang kemarin ya?"

Aku mengangguk antusias.

"Ada apa, Neng?" tanyanya padaku, membuatku sedikit bingung.

"Tidak ada es krim khusus untuk saya lagi, Bu?" tanyaku sambil cemberut.

"Waduh, ga ada tuh. Hari ini orang itu ga datang," jawabnya.

"Yah, yaudah deh. Kalo note?"

Ibu itu menggeleng, "Ga ada juga."

Aku mengucapkan terimakasih, lalu beranjak pergi dengan gontai. Padahal aku sudah berharap.

Aku memutuskan untuk pergi ke cafe depan kampus. Walaupun menyebrangi jalan besar dan ramai, tapi tak masalah, aku akan mencobanya.

Sudah hampir 10 menit aku berdiri di pinggir jalan—mencari kesempatan agar aku bisa menyebrang, tapi motor dan mobil tidak ada yang ingin mengalah juga.

Tubuhku tiba-tiba menegang karena ada yang menggenggam tangan kananku. Bukan karena aku takut diculik, tapi ini jelas tangan yang saat itu menyelamatkanku.

Aku melirik. Dan benar, si topi hitam dan masker putih itu lagi.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang