bab 30

3 2 0
                                    

Aku langsung berangkat ke lokasi itu menaiki ojek online. Sepanjang jalan pikiranku tidak tenang. Aku masih bingung jika seperti ini aku yang salah atau Devan yang salah.

Motor kami berhenti di depan sebuah rumah minimalis bercat putih dengan pagar bercat hitam. Pekarangannya terlihat rapih dan tertata. Aku melihat motor Devan terparkir disana.

Setelah membayar ojek online, aku memencet bel yang berada di dekat pagar tersebut—namun tidak ada jawaban. Aku tidak peduli lagi—akankah aku sopan atau tidak— aku langsung masuk ke dalam rumah itu. Beruntung pintunya tidak ada yang di kunci.

Sepertinya rumah ini kosong. Aku tidak menemukan seseorangpun. Bahkan aku tidak menemukan Devan. Aku sampai di ruang terakhir dan itu adalah kamar Devan. Aku membuka pintunya dan masuk kedalam kamar bernuansa terang dengan jendela besar terpampang, tapi aku tetap tidak menemukannya.

Aku duduk di kasurnya untuk istirahat dan berpikir. Aku sudah memeriksa semua ruangan persis seperti maling mencari sasarannya, tapi aku tetap tidak menemukannya. Tiba-tiba mataku tertuju pada lemari di kamarnya. Aku membukanya dan melihat ada sebuah cahaya terang.

Mengapa di lemari bisa ada cahaya seterang itu?

Aku menyibakkan semua pakaiannya yang menggantung, lantas terkejut karena menemukan sebuah pintu. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke pintu itu.

Cahaya lampu membuat mataku silau. Ruangan itu sangat berantakan, banyak cat tumpah dan aku melihat ada satu toples berisi banyak note—persis dengan warna-warni yang aku dapatkan. Aku langsung menyadari bahwa ini adalah ruang seni.

Aku berjalan menuju rak buku yang berjejer dua dan mengintip lorong di antaranya. Aku terkejut melihat Devan duduk lemas disana. Aku langsung berlari kearahnya. Menatapnya khawatir, kondisinya sudah benar-benar terlihat lemas dan letih. Aku melihat handphonenya ada di tangannya untuk mengirim pesan padaku tadi.

"Devan?" panggilku lirih.

Dia membuka matanya sedikit dengan senyum tipis dari bibir pucatnya yang dipaksakan. Aku mengecek dahinya dan ternyata badannya panas sekali. Sungguh badannya benar-benar panas sekali. Aku langsung berusaha membopongnya untuk tidur di sofa di ruangan itu.

"Aku ambil obat sama lap dulu," ucapku padanya.

Dia menahan tanganku. "Jangan pergi!"

"Aku cuma mau ambil obat sama lap untuk kompres kamu."

"Tidak usah, kamu cukup disini aja," jawabnya lirih.

Aku terduduk di lantai, berkali-kali mengecek suhu badannya. Menyibakkan poni dari dahinya dengan lembut. Sesekali aku juga mengelus pipinya—berharap panas ditubuhnya pindah ke diriku saja.

"Kamu benar-benar tidak ingin aku ambil obat?" tanyaku.

Dia menggeleng lalu tersenyum, dan berusaha duduk dengan seluruh tenaganya. Dia menarik tanganku dan menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dia masih belum melepaskan tangannya dari tanganku. Entah kenapa sakit sekali melihat keadaannya seperti ini.

Aku berinisiatif menarik belakang lehernya dan membawanya ke pundakku—memeluknya. Dahi panasnya menyentuh bahuku sehingga aku bisa merasakan panasnya.

"Kenapa kamu bisa begini Devan? Kamu berhasil membuatku khawatir," ucapku tertahan, lalu aku melanjutkannya, "Aku menemukan surat di boneka yang kamu berikan, aku sudah membaca semuanya, t-terimakasih Devan," ucapku masih memeluknya.

Dia mengeratkan pelukannya. Berkali-kali juga membenarkan posisinya supaya nyaman memelukku. Aku juga ikut merasakan kenyamanan. Kali ini bukan bahuku yang merasakan hangat dari dahinya, tapi juga hatiku ikut menghangat karena pelukannya.

"Aku menyukaimu sejak pertama kali aku tahu namamu, Dhira," ucapnya.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang