bab 25

6 2 4
                                    

Setelah seharian bermain di cafe kucing, Devan mengantarku kembali ke apart.

"Kamu tinggal sendiri?"

"Iya," jawabku. Devan mengangguk, lalu membali menyalakan motornya. "Hati-hati, ya."

"Iya, Tuan Putri," jawabnya dari balik kaca helm, lalu menancapkan gas motor dan pergi begitu saja. Aku masih merenung di depan apart. Tuan Putri? Aku cepat-cepat menggeleng. Bisa jadi panggilan tersebut marak digunakan.

🔰🔰

Aku merenung di balkon lagi, melihat bintang-bintang, tapi kali ini ditemani Pingku. Aku menunjuk-nunjuk wajah boneka itu.

"Jangan-jangan kamu bisa mendengar dan mewujudkan keinginan ya?" Aku buru-buru menampar wajahku. Mana mungkin Dhira, jangan aneh-aneh, kataku dalam hati.

"Kamu tahu Pingku? Aku bertemu seseorang yang baru kemarin aku ceritakan padamu. Dia makin tampan, Pingku, dan yang jelas semakin menggemaskan," curhatku.

Tiba-tiba aku tersadar, aku belum mengganti uangnya. Walau duitku sudah habis dicopet, setidaknya uang tabunganku lebih dari cukup. Aku akan mencari dan mengembalikan uangnya besok.

🔰🔰

"Devaann!!!" teriakku memanggilnya dari seberang jalan.

Devan menoleh, melihatku yang ingin buru-buru menyebrang. Dia menunjuk-nunjuk—menyuruhku untuk diam dan jangan menyebrang, lalu dia menyebrang menghampiriku.

"Kamu mau nyebrang sambil heboh kayak gitu, minta ditabrak?" tanyanya saat sudah berdiri di depanku.

"Soalnya takut kamu hilang lagi," jawabku.

"Ga. Ga akan hilang lagi kok."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Ini," ucapku sambil merogoh dompet, "Aku kembaliin uang kamu yang kemarin."

Dia menatap uang yang ada di tanganku, lalu menggeleng kencang sekali. Dia menundukkan kepalanya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Bisakah ditukar dengan sesuatu yang lain saja?" tanyanya masih menunduk.

"Tukar apa?"

"Nomor telponmu misalnya," jawabnya malu-malu. Kali ini aku mengerti, dia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang merah.

"Ahahaha, boleh deh." Dia langsung mendongakkan kepalanya—tersenyum seakan baru mendapat hadiah besar. "Dengan syarat kamu harus nerima setengah uang ini ya."

Dia mengangguk antusias. Aku memberikan setengah uangku, lalu Devan mengeluarkan kertas-kertas note dan pulpen lalu menyuruhku untuk menulis nomer telponku disitu. Dia menerimanya, lalu memasukkan note dan pulpen itu ke dalam saku jaketnya.

"Devan," panggilku.

"Iya?"

"Nongkrong di cafe depan situ sebentar aja yuk," ajakku.

Dia mengangguk, lalu menggenggam tanganku untuk membantuku menyebrang. Kami masuk ke cafe, aroma kopi selalu saja menarik hatiku. Aku memesan capuccino seperti biasa, sedangkan Devan memesan es kopi susu.

"Ternyata kamu sukanya capuccino ya?" tanyanya padaku saat kami sudah duduk.

"Iya," jawabku pendek. Tanpa membutuhkan waktu yang lama pesanan kami datang. Aku menyeruput kopiku, meninggalkan bekas cream di bibirku.

Devan menunjuk-nunjuk bibirku. "Belepotan," katanya sambil memajukan badannya untuk mendekatiku. Tangannya mengusap ujung bibirku, menghapus noda cream disana, lalu menjilat jarinya yang terdapat cream di bibirku tadi.

Wajahku memerah. Bisa sekali Devan melakukan ini tanpa merasa deg-degan sama sekali. Sedangkan aku disini mati-matian menahan perasaan. Aku tahu dia polos, tapi tidak begini juga. Ingin rasanya aku culik pria ini, dan tidak memperbolehkan siapapun untuk menyentuhnya.

"Jadi ga pahit kalo dari bibir kamu."

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang