bab 26

9 2 5
                                    

Aku mematung—tidak tahu harus merespon apa. Hatiku ingin melompat dari porosnya, dan rasanya aku ingin memukul sesuatu sangking senangnya dan gugupnya. Aku memperhatikan wajahnya, dia terlihat biasa saja.

"Kenapa wajahmu merah?" tanyanya padaku.

"G-ga-gapapa," jawabku kaget dan malu. "D-Devan dulu SMA-nya dimana? Kok bisa pindah kesini lagi?" tanyaku untuk mengalihkan topik.

"Ah iya, aku memang SMA di luar pulau, tapi setelah dua tahun disana aku sering dengar kabar Ayah dan Ibu yang makin sakit-sakitan, jadi aku cepat-cepat menyelesaikan sekolah, dan kembali pindah kesini," jelasnya panjang lebar.

"Oh gitu, kita bisa satu kampus, keren ya," ucapku sambil tersenyum.

Dia mengangguk, menghabiskan es kopi susunya. "Kamu ga pernah jawab chat dari Rendi, Dev?"

"Isi chat Rendi hanya tentang kamu yang menanyakan kabarku."

🔰🔰

Sekarang aku sudah berada di kamar. Masih merasa marah pada Rendi karena dia memberi tahu Devan bahwa aku yang menanyakan kabarnya. Aku sungguh malu, untung tadi Devan tidak ambil repot dengan aku yang berubah menjadi canggung, dan aku berharap Devan tidak berpikir macam-macam.

Aku pergi mandi setelah itu—untuk menjernihkan jiwa dan raga. Setelah itu, aku membersihkan kamar yang sudah berhari-hari tak aku bersihkan. Jam menunjukan pukul 19.00, aku membuka laptopku untuk mengerjakan tugas. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi juga tugas yang diberikan.

Aku sudah mengerjakan selama satu jam, tapi bahkan setengah dari tugas itu saja belum sampai. Tiba-tiba handphoneku bergetar, aku melihat nomor asing terpapar di layar. Aku mencoba untuk mengangkatnya.

"Halo?"

"Ini hantu." Suara dari ujung telepon terdengar jelas, itu suara Devan.

"Eh Devan? Udah malem lho, kenapa telpon? Kok ga tidur? "

"Kok tahu sih?! Aku udah bilang ini hantu."

"Aku buktiin kalau kamu Devan," jawabku. Aku langsung mengubah panggil jadi mode video. Devan membuka videonya juga. Aku melihat dia sedang tiduran di kasur sambil mengenakan selimut yang dia naikan sampai mulut sehingga aku hanya bisa melihat mata dan hidungnya.

"Tuh kan bener Devan," ucapku saat melihat wajahnya, tapi aku menyadai sesuatu. "Matamu merah Devan," ucapku padanya.

"Aku sebenarnya sudah ingin tidur tadi."

"Oh kamu sudah ngantuk? Kenapa ga tidur aja?"

"Aku tahu kamu lagi ngerjain tugas. Biarin aku nemenin kamu ya?" ucapnya malu-malu sambil menaikan selimutnya sampai menutupi hidung.

"Tidur aja, Devan."

"Ga mau!" Ucapnya sambil menggerutu, dan membuka selimutnya sampai seluruh wajahnya terlihat. Dia menatapku sebal dengan bibir yang sedikit manyun khas anak kecil.

"Iya deh, anak anjingku," ucapku padanya.

Dia tersenyum, dengan mata merah dia tetap memperhatikan aku mengerjakan tugas. Sesekali aku melihatanya menguap dan mengedip-ngedipkan matanya. Aku tahu dia sudah ngantuk sekali, tapi aku tak bisa melarangnya, dia pasti akan ngotot minta menemani.

Beberapa saat kemudian, aku meliriknya lagi, aku melihat dia sudah terlelap. Wajahnya terlihat damai dengan selimut yang menutupi mulutnya. Jika tidak terpisah oleh layar handphone masing-masing, mungkin aku akan mengelus lembut rambutnya.

"Ahaha udah tidur nih," ucapku pada diri sendiri. Aku menatap pria itu teduh. "Selamat tidur, Pangeranku." Lalu kumatikan sambungan telpon itu.

Aku tersenyum. Hidupku jadi menyenangkan belakangan ini, Devan benar-benar memberikan warna yang berbeda. Kami baru bertemu beberapa hari yang lalu setelah bertahun-tahun terpisah. Sampai saat ini, perasaanku tak pernah berkurang sedikitpun dengannya.

Malah aku semakin menyayanginya.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang