bab 6

10 5 3
                                    


Aaaaaaa
Ahahahhahahah

Aku lagi-lagi mendengus sebal. Selalu seperti ini, batinku.

Sebagian teman sekelas, kumpul di belakang kelas. Mereka main game entah apa aku tak mengerti—yang jelas berisik sekali. Sesekali aku ikut, tapi lama-lama membosankan.

Hari ini handphone sedang dikumpulkan, jadi kami tidak ada kerjaan. Aku memilih untuk tidur dan bermesraan dengan meja kesayangan. Tapi sayangnya barisan belakang sangat menggangguku.

Aku menengadah, mencoba mengambil napas karena emosi. Aku tidak menyalahkan mereka, hanya saja aku sedikit badmood saat ini. Sesekali kulirik pria itu. Dia di mejanya—sendiri, mencoret-coret sesuatu di atas kertas.

"Kok ga gabung Dev?" Tanya Jessi tiba-tiba. Aku mengalihkan muka ke Jessi. Anak ini deket sama dia ya? pikirku

Devan tersenyum. Senyum paling manis. Bukan untukku, tapi untuk Jessi. "Gabut aja," jawabnya.

"Iya deh, yang pinter gambar mah beda," puji Jessi sambil tersenyum.

Devan tertawa renyah. Seakan Jessi baru saja mengeluarkan lelucon, padahal tidak.

"Lo deket juga sama dia," ucapku pada Jessi.

"Eh dulu gue sama dia waktu kelas 8 deket banget, kita dulu kalau main juga bareng, temen-temennya juga seru, kita jajan bareng ke kantin, pokoknya dia baik lah," jawab Jessi menggebu-gebu.

"Oh gitu, iya-iya," jawabku seadanya, ada titik kecil di hatiku yang sedikit tidak ikhlas.

Jujur mereka terlihat cocok. Aku merasa Jessi lebih cantik dariku—dia tinggi, putih, juga lucu. Sedangkan aku? Pendek, tidak putih dan tidak lucu. Dan Devan—dia manis, kulitnya sawo matang, kalem, tapi juga menyenangkan.

Tiba-tiba Jessi menarik lenganku, menyuruhku mendekat.

"Eh lo jangan kasih tau siapa-siapa ya," bisiknya.

Aku mengangguk.

"Dulu gue sempet suka sama Devan."

Kalian tahu rasanya? Ini menyebalkan sekali. Aku suka dengan orang yang pernah disukai Jessi. Apalagi dahulu mereka mempunyai kenangan menyenangkan. Ini rasanya tidak adil. Jessi pintar mengungkapkan perasaannya, sedangkan aku?

"Tapi sayang, Devan dulu sudah punya pacar," lanjut Jessi tiba-tiba.

Aku mengontrol wajahku, seakan sedang tidak memikirkan apapun. Walau sebenarnya aku kaget—karena aku tidak menyangka cowok sekalem itu pernah punya pacar.

"Siapa, Jes?" tanyaku.

"Diem-diem aja ya, itu lho si Reina," bisiknya.

"Hah? Yang temennya Meka itu?"

"Iya." Jessi mengangguk.

"Wow sama-sama anak kalem, lucu ya." Entah kenapa aku bertepuk tangan—tidak tahu, mungkin sudah kelewat salting dan kaget.

"Gue sering liat mereka jalan bareng, sambil gandengan tangan," bisik Jessi lagi.

Aku hampir tersedak salivaku sendiri. Mataku melotot tak tahan untuk mengekspresikan rasa kaget—semoga Jessi tidak memperhatikan.

"Katanya sih yang awalnya suka ceweknya, cuma Devan gentle aja, waktu tau ada cewek suka sama dia, dia langsung nembak."

"GEMOII." Aku tak kuasa menahan senyum. Makin manis saja jika dibayangkan.
"Terus-terus mereka sekarang gimana?" lanjutku tertarik.

"Kayaknya sih, sudah putus, tapi ga tau juga," kata Jessi sambil menaikkan kedua pundaknya.

Berarti kalau gue ketahuan suka, bisa gawat.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang