bab 7

18 4 1
                                    

••
Lucu banget, Semesta. Aku bisa begitu menyukainya, tapi dia kenal aku saja tidak.
••

Sedari tadi semenjak Jessi bercerita, aku jadi sering bengong dan tidak konsen. Aku tidak ingin Devan membalasku ketika dia tahu aku suka padanya. Aku tidak mau. Alexithymia ini membuatku tak bisa membalas perasaan orang, aku tak tahu harus merespon bagaimana.

Ya, aku tahu aku berpikir berlebih. Karena mungkin Devan juga suka dengan Reina saat itu. Lah aku? Mana mungkin Devan suka sama aku. Aku tersenyum kecut. Menanamkan dalam hatiku bahwa Devan tidak akan atau tidak mungkin suka denganku.

Tanpa sadar Devan berdiri di depan mejaku. Membawa tumpukan buku. Seperti orang kebingungan.

"Yang namanya Dhira, mana Jes?"

Tiba-tiba dia bertanya seperti itu. Di depanku, yang jelas sedang memikirkannya. Tak tahu siapa aku, bertanya dengan teman sebangkuku, yang dulu pernah suka dengannya. Semakin sedih jika memikirkan hidupku saat itu.

"Lah ini samping," kata Jessi.

"Oh iya." Devan memberikan buku itu, lalu berlalu begitu saja.

"M-m-makasih," jawabku gugup karena kaget.

Moodku seharian langsung turun. Aku sudah berpikir macam-macam, namun di dalam kenyataan, dia kenal aku saja tidak. Kamu tahu? Ini menyedihkan sekali.

Mungkin aku akan terlihat seperti wanita sedang datang bulan saat ini. Bahkan, saat sedang naik ojek online untuk pulang, ingin sekali rasanya kutinju abang ojol itu karena bertanya terus—padahal biasanya, dengan senang hati aku menjawabnya.

Aku masuk kamar, membaringkan tubuhku. Ini hari selasa, jadwal les bimbel. Aku tak punya banyak waktu untuk galau di rumah.

Aku berangkat ke les dengan berat hati. Tak memperhatikan penampilan. Dengan bibir yang kupaksakan rata agar tidak cemberut. Tapi jatuhnya malah jelek.

"Gue perhatiin, muka lo jelek juga," jujur Tika, teman les-ku.

"Diam!" Aku tak memedulikannya.

"Kenapasih?" Tanyanya padaku.

"DEVAN BAHKAN GA KENAL GUE, TIKAAA," teriakku tak tertahan.

Seluruh penjuru kelas menengok kepadaku—ya aku datang telat dan sudah ada guru. Memang tidak tahu diri.

"Yang baru datang, tolong jangan berisik!" sewot guru itu.

Aku menahan mulutku—masih cemberut. Aku beberapa hari belakangan ini hanya cerita pada Tika tentang Devan. Karena dia teman les-ku, dan jauh dari peluang bahwa dia akan bertemu yang namanya Devan.

"Kok bisa sih? Lo ga pernah ajak dia ngobrol gitu?" bisik Tika.

"Lo kayak ga kenal gue aja," jawabku. Tika tahu tentang penyakitku. Bahkan dia hampir tahu semua rahasiaku kecuali masalah kedua orang tuaku.

"Tandanya lo harus lawan penyakit lo, Ra," jawabnya menasihati.

"Ga bisa, Tik. Yaudahlah gapapa, dari dulu gue emang ditakdirin kayak gini," ucapku pasrah.

Mulai saat ini aku berusaha melupakannya. Berhenti peduli. Berpura-pura tidak punya perasaan apapun. Ini tidak pertama kalinya. Selalu seperti ini ketika aku menyukai seseorang, jadi aku sudah terbiasa.

Temanku Tika ini, selalu saja pandai dalam merubah mood. Apa yang dia katakan selalu lucu—selalu membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Tidak heran kita dikenal sebagai dua murid paling berisik di les-an. Karena itu, aku bisa melupakannya malam ini.

\(○^ω^○)/

Terima kasih yang sudah membaca sejauh ini 😭.

Maafkan kekurangan saya 🙏.

Semangat terus ya semuanya ❤.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang