bab 21

7 3 2
                                    

"Apaan tuh?" tanya Rendi saat perjalanan.

"Boneka sama note," jawabku.

"Iya gue tau. Tapi dari siapa?"

"Tadi dikasih sama performance disana. Belakangan ini ada seseorang yang ngasih aku note kayak gini terus," ucapku padanya. "Dia panggil aku Tuan Putri. Bukannya dulu kamu pernah panggil aku princess?"

"Lo nanya, gue yang ngirim atau bukan?" Aku mengangguk. "Bukan. Coba liat bentar." Aku memberikan note itu kepada Rendi. Dia hanya mengangguk lalu mengembalikannya.

"Kamu tahu siapa?"

Dia tidak menggubris pertanyaanku— sibuk mencari celah untuk menyebrang. Ya sudah, mungkin Rendi memang tidak tahu.

Kami tiba di museum, memesan tiket, lalu masuk. Lukisan-lukisan terpajang indah di dinding, beberapa disinari lampu agar terlihat semakin jelas. Tak jarang ada pelukis yang aku kenal namanya. Aku selalu kagum, tangan-tangan seseorang bisa membuat hal yang seindah ini.

Aku berdiri di depan sebuah lukisan abstrak—semua warna tercampur sampai aku tidak mengerti bagaimana bentuknya. Rendi berdiri di sebelahku.

"Ren," panggilku.

"Hmm?"

"Dulu ada seseorang berkata padaku. Katanya, perasaan di dalam lukisan itu harganya mahal sekali, dan aku percaya itu," ucapku sambil mengenang memori lama. Andai saja aku bisa mengungkapkan perasaan dengan cara yang seindah ini, batinku.

"Ya makanya itu, lukisan ini ada di museum kan?" ucapnya. "Tidak ada yang bisa meniru perasaannya."

Aku mengangguk—tersenyum. Belakangan ini aku semakin ingat depan pria itu. Pria yang tak bisa aku pahami sama seperti lukisan-lukisan ini. Aku enggan bertanya tentangnya pada Rendi lagi—tidak enak saja.

Kami menghabiskan waktu setengah jam untuk berkeliling di museum itu. Rendi mengantarku sampai apart.

"Jangan tidur kemaleman," katanya padaku.

Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih, lalu menunggu motor Rendi berangkat sampai tak terlihat di ujung kelokan. Aku masuk ke apart, menaiki lift, dan lagi-lagi menjatuhkan diri di kasur. Aku memeluk boneka itu.

"Katanya, aku bisa cerita apapun padamu bukan?" tanyaku pada boneka itu.

Jelas boneka itu tidak bisa menjawab.

"Akan aku ceritakan padamu kisah yang tak pernah aku kisahkan, kisah yang aku berharap sedikitpun tidak, kisah yang belum mulai, tapi sudah berakhir. Tentang perasaanku, tentang harapan, dan tentang dia."

Aku bercerita, tanpa henti sepanjang malam. Kali ini alexithymiaku tak melarangku—lagipula aku berbicara dengan benda mati. Aku bercerita dengan perasaan menggebu-gebu. Tentang pria itu, tentang keluargaku, tentang note-note itu. Tak jarang aku bertanya kepada Pingku, siapa pemiliknya? Tapi jelas dia tidak menjawab.

Lama-lama aku lelah sekali, aku memutuskan untuk menempelkan note itu di dinding lagi, dan beranjak menuju balkon kamar.

Angin malam yang dingin menerpa wajahku. Aku suka malam ini, udaranya lembab—tidak gerah, tidak dingin. Aku melihat langit, bulan dan bintang muncul dari gumpalan awan malu-malu. Dua benda malam itu menggemaskan sekali jika sedang bersama—benar-benar tidak bisa dipisahkan.

"Devan, kamu dimana?"
"Bisa-bisanya aku merindukanmu, padahal aku tahu, kamu mungkin ingat wajahku saja tidak. Berkali-kali aku berdoa pada Tuhan agar bisa bertemu denganmu. Sekali saja, untuk melihatmu sekilas, tidak perlu kamu balas melihatku, itu saja tak lebih."

Aku membenamkan wajahku di lipatan tangan yang bertumpu di besi pembatas balkon.

Aku hanya ingin merindukannya.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang