Badanku menegang, aku mematung. Apa aku tidak salah dengar? Atau dia tidak sadar mengucapkan sembarang hal? Aku masih memeluknya, tanpa berpikir untuk melepaskannya.
"Aku menyukaimu sejak pertama kali aku tahu namamu." Dia mengucap ulang perkataannya.
"Aku takut menyakitimu tapi nyatanya aku sudah menyakitimu," ucapnya lirih sekali. "Jangan pergi lagi, Dhira, aku minta maaf."
Dia melepaskan pelukannya, menatapku dengan teduh. Kali ini pria ini tidak terlihat seperti anak kecil, melainkan Devan yang sudah dewasa dan kuat. Bibirnya masih terlihat sangat pucat, dan masih terlihat lemas.
"Aku menyukaimu sejak dulu. Ketika aku bertemu denganmu lagi, aku tidak bisa mengontrol perasaanku, aku menganggap bahwa pertemuan denganmu tak akan aku sia-siakan," ucapnya lembut. "Sampai aku pikir ini terlalu berlebihan. Aku tahu penyakitmu, Ra, Rendi menceritakannya. Aku takut kamu malah risih denganku, jadi aku menjaga jarak. Aku tidak berpikir bahwa itu malah akan menyakitimu." Devan menjelaskan panjang lebar.
Aku hanya bisa terdiam. Tanpa aku sadari air mata jatuh ke pipiku. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku ingin mengatakan bahwa aku sangat mencintainya, tapi ini begitu sulit. Mulutku tidak bergerak sama sekali, tapi mataku mengeluarkan air mata.
"Ra, aku minta maaf. Jangan menangis," ucapnya lembut sambil berusaha menghapus air mataku dengan jarinya.
Tiba-tiba dia memajukan tubuhnya. Wajah kami begitu dekat sekarang. Dan tiba-tiba—cup-. Bibirnya mendarat di keningku—dia menciumnya dengan lembut. Hangat menjalar ke dalam tubuhku dan berpuncak di wajahku. Aku ingin memeluknya erat sekali dan berteriak bahwa aku mencintanya, tapi Alexithymia ini menahanku. Dia lagi-lagi menatapku teduh. Tatapan yang sangat aku butuhkan dari seorang pria. Tatapan yang tidak pernah diberikan oleh siapapun termasuk Ayahku.
"Ra ga marah lagi?" tanyanya.
"Aku masih marah!" jawabku ketus.
"Kenapa?"
"Kamu bisa-bisanya sampai sakit begini, mana pakai cium kening segala. Siapa yang ngajarin?"
"Tapi Ra waktu itu bilang, kalau aku mencium sesuatu maka dia akan sayang denganku," jawabnya dengan wajah polos. Aku kaku seketika. "Emangnya ga berlaku buat Ra?"
Benar-benar bahaya! Aku beranjak dan keluar kamar untuk menutupi wajah merahku. Bisa-bisanya anak ini menanyakan hal sepolos itu, cibirku dalam hati.
"Dhira mau kemana?"
"Ambil obat!"
Aku mencari-cari kotak obat di dapur dan tidak sulit untuk mencarinya, tapi tempatnya tinggi sekali, dan yang ada disana hanya kursi putar. Bagaimana jika aku menaikinya lalu kursinya berputar dan aku terjatuh?
Ya mau bagaimana lagi, aku terpaksa harus menggunakan kursi itu. Aku menaruhnya tepat di bawah kotak itu lalu berhati-hati menaikinya. Payahnya aku masih harus berjinjit untuk menggapainya. Tiba-tiba aku kehilangan peganganku, dan kursi itu berputar sendiri. Aku panik karena hanya tinggal satu kakiku yang masih bertumpu dan juga sebentar lagi akan terlepas.
Aku melihat Devan berlari kearahku, dan dia berhasil menangkapku yang hendak jatuh. Dia tidak terlambat, dia menangkap badanku, dan tanganku bertumpu di pundaknya. Aku tidak memikirkan apapun karena perasaanku masih deg-degan karena hampir jatuh.
Tapi yang membuatku menegang beberapa saat kemudian bukan karena ingin terjatuh, tapi karena Devan mengangkat tubuhku. Dua tangannya melingkar di bawah pinggangku, memaksa kakiku untuk melingkar di pinggangnya ketika dia menggendongku. Dia mendudukkanku di atas meja makan, lalu kedua tangannya bertumpu di bagian meja samping tubuhku. Wajahnya begitu dekat hingga aku bisa mendengar deru napasnya. Kedua manik matanya menatap manik mata milikku dengan lekat. Aku bisa mencium aroma tubuhnya. Tanpa kusadari, tanganku masih melingkar di lehernya.
"Kamu cantik, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomansaNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...