bab 46

3 2 2
                                    

Aku duduk di bangku depan kamar Devan dirawat. Aku hanya diam dengan tatapan kosong menatap ujung sepatuku. Aku menengadahkan kepala. Berusaha mencerna dan menerima apa yang sudah terjadi. Sulit sekali rasanya. Seandainya aku bisa menukar Devan dengan diriku—biar aku saja yang sakit, biar aku saja yang menderita. Pria sebaik Devan tidak pantas kesakitan seperti itu.

Rendi menghampiriku, dan duduk di sampingku. "Ini udah jam 10 malam. Lo belum makan dari tadi. Nih, makan," ucapnya sambil menyodorkan roti kepadaku.

Aku menggeleng—benar-benar tidak ada nafsu makan. Rendi membuka plastik roti itu, lalu memoteknya, dan menyuapkannya ke dalam mulutku. Aku terpaksa menerimanya.

"Andai Devan tahu, gue nyuapin lo kayak gini, dia pasti marah."

Aku berhenti mengunyah, benar juga yang dikatakan Rendi.

"Tapi dia bakal lebih marah kalau tau lo ga makan. Akhirnya juga gue malah digebukin," lanjutnya.

Aku merampas roti itu dari tangannya. Memilih untuk memakannya sendiri karena tidak ingin Devan marah atau Rendi digebukin. Sebegitu perhatiannya Devan. Sedangkan aku, bilang bahwa aku mencintainya saja tidak bisa.

"Kalau gitu aja langsung nurut," ucapnya. "Belakangan ini gue banyak belajar dari seseorang, Ra. Jika kita mencintai seseorang kita harus bertindak, Ra, bukan hanya berucap," ucap Rendi seakan bisa membaca pikiranku.

"Sejak kapan kamu jadi kayak gini?" Aku hanya men-tes Rendi saja, walau aku akui perkataannya ada benarnya juga.

"Gue lagi jatuh cinta sama seseorang, Dhira."

"Oh ya? Bagus deh. Berarti kamu ga jelek-jelek amat," ucapku acuh-tak acuh.

"Ra."

"Iya?"

"Devan sayang banget sama lo," ucap Rendi tiba-tiba. "Dia hanya keras kepala." Rendi tersenyum kecut.

Aku hanya diam menunggu lanjutan ucapan Rendi.

"Dari SMP gue udah suruh dia ngungkapin perasaan ke elo, tapi dia ga pernah mau. Dia bilang, dia cuma ingin sayang sama lo. Dia ga pernah berharap lebih. Disitu gue tahu, gue punya teman yang hebat. Teman yang tulusnya sampai gue waktu itu pengen bongkar isi kepalanya. Sekarang gue ngerti rasanya cinta sama seseorang, walau gue belum bisa setulus Devan."

Aku melihat Rendi menghela napas panjang setelah penjelasan panjang lebarnya. Aku kira dulu aku sudah begitu tulus menyayanginya. Tapi siapa sangka? Devan jauh lebih tulus dariku.

"Lo tahu kenapa gue sama Devan duduk dekat lo waktu SMP?"

Aku menggeleng.

"Karena Devan pengen ngelindungin lo dan ga mau jauh dari lo."

Aku menghentikan makanku, dan menoleh ke arah Rendi. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri. Ketika dia tidak ada di sampingku, dia menyelamatkanku dengan memberi semangat. Ketika dia ada di sampingku, dia tak henti-hentinya melindungiku dan membuatku selalu tersenyum.

Aku semakin yakin, bahwa Tuhan menciptakan Devan ketika sedang bahagia.

"Jujur lo berdua bikin gue pusing. Yang satunya keras kepala, yang satunya lagi kayak orang ga punya harapan hidup. Cih-" ucap Rendi.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Kamu ngasih tahu Devan kalau aku nanyain kabar dia mulu ya waktu SMA?"

Rendi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecut.

"Gue sebagai sahabat yang ga berguna ini cuma bisa ngelakuin itu supaya dia bahagia."

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang