bab 3

10 3 9
                                    

"Woy bengong aja," seru Via mengagetkanku, "Lanjutin woy."

Iya, Via memang sering main kekelasku. Bosan katanya, dan juga hari ini dia membantuku berlatih nyanyi begitupun sebaliknya.

Aku melanjutkan bernyanyi. Tapi sedikit aku pelankan karena takut suara jelekku terdengar olehnya. Sesekali aku melirik pria itu. Bahkan aku belum tahu namanya.

Ya aku belum hapal nama teman sekelasku. Seperti alasan utama, aku tidak peduli.

Bel tanda usai istirahat berbunyi, membuat murid-murid berhamburan masuk kedalam kelas—bahkan Via kocar-kacir keluar kelas—Duduk rapih, menyapa teman sebangku, mengeluarkan buku pelajaran baru.

Beberapa anak membawa tumpukan buku, sepertinya itu pembagian buku matematika yang sudah dikumpulkan tiga hari lalu.

Guru masuk dan memberikan salam, lalu membagikan buku-buku itu.

"Dhira!" teriak guru itu, aku langsung berjalan kedepan untuk mengambilnya. Guru itu lantas mengambil buku berikutnya.

"Devan!" Aku memperhatikannya, cowok itu berdiri, mengambil bukunya. Oh itu namanya, bisikku dalam hati.

Anak-anak kembali duduk mendengarkan penjelasan guru. Jujur saja, matematika adalah pelajaran yang paling kusuka karena lebih mengandalkan logika dibandingkan perasaan.

Bagiku, pelajaran bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris sangat menyebalkan—apalagi saat ulangan. Bagaimana bisa di dalam soal terdapat pertanyaan, "Apa yang dilakukan Ahmad setelah membaca pesan surat diatas?" Dalam hati aku bersumpah tidak peduli apa yang akan dilakukan Ahmad. Lalu mengapa juga aku harus mengurus hidup Ahmad?

Hari itu selesai. Seperti biasa aku pulang naik ojek online. Bahkan terkadang aku dapat orang yang sama, "Neng, yang rumahnya disono kan?" "Iya, bang." Tidak jarang juga seperti itu.

Di jalan menuju pulang, ditemani angin semilir, aku bertanya-tanya. Kenapa aku baru sadar ada pria semanis itu di kelas? Terkadang lamunanku pecah oleh abang ojek yang kadang masih lupa jalan.

🔰🔰

Sudah tiba saatnya makan malam. Aku dan keluarga ku—lebih tepatnya hanya Ayah dan Ibuku, karena kakakku sudah menikah dan tinggal di luar negeri—berkumpul untuk makan malam.

Suasana makan malam selalu sepi, beberapa kali hanya muncul pertanyaan dari Ayah dan Ibuku tentang hari ini, selebihnya hanya suara sendok dan piring yang beradu.

Memang selalu seperti ini, apalagi semenjak dua tahun yang lalu. Ayahku ketahuan punya cewek lain, itu tragedi yang membuat aku pertama kali melihat Ibu teriak-teriak seperti tak sadarkan diri.

Disitu aku sadar, aku sakit, bahkan bingung. Ternyata yang kita lihat tak seperti yang kita lihat, yang kita rasa tak seperti apa yang kita tunjukkan. Pertama kali dalam hidupku aku selalu cemas ketika berangkat sekolah.

Bagaimana jika mereka bertengkar hebat? Bagaimana jika mereka lupa bahwa aku ada dan memutuskan untuk bercerai? Apa aku seharusnya lebih baik ada di rumah saja dan menjaga mereka?

Aku selalu mencoba untuk jadi kuat, menutupi semuanya dengan baik, selalu berusaha baik-baik saja, menghadirkan senyum terbaikku di depan teman-teman, menjadi sehumoris apapun yang aku bisa.

Disitu penyakitku semakin parah, Alexithymia.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang