bab 41

4 2 2
                                    

Pagi ini, aku masih melihat Devan tidur di sofa. Sebenarnya aku kasihan, karena pasti tidak nyaman, tapi mau bagaimana lagi. Aku memutuskan untuk membuat sarapan omelette kari untuknya.

Ketika aku sedang memanaskan kuah kari, sepasang tangan melingkar di pinggangku. Pria itu meletakkan kepalanya di pundakku, membuatku berhenti bernapas sesaat. Devan memelukku dari belakang. Aku bisa merasakan hangat napasnya di pundakku. Pria ini bisa saja membuat jantungku berdegup kencang.

"D-devan," panggilku tak tahan.

Pria itu tersadar, mendongakkan kepalanya, dan membuka matanya lebar-lebar, lalu terkejut.

"Maaf, maaf, maaf, Dhira. Pagi-pagi Devan suka ga sadar. Maaf," ucapnya sambil membungkuk-bungkuk dan menangkupkan tangannya.

Ah, untunglah pria ini tidak sadar, batinku. Dengan begitu aku masih mempercayai kepolosan Devan.

"Wanginya enak, Ra." Tiba-tiba aku mendengar suara perut Devan.
"B-bukan, itu bukan dari perut Devan," elaknya tidak ingin mengaku. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya.

Setelah makanan terhidang, aku cepat-cepat membawanya ke meja makan tempat Devan berada. Aku makan bersamanya, melihat dia memasukkan semua makanannya dengan lahap. Benar-benar seperti keluarga kecil. E-eh ngomong apa aku tadi—mengkhayal saja.

"Habis ini mandi terus berangkat ke kampus ya, Devan." Dia mengangguk tanpa berhenti memasukan suapan makanan ke mulutnya. "Pelan-pelan aja, nanti keselek."

"Eh, Mamah?"

"Udah aku kabarin semalam."

Dia mendengus lega. Setelah selesai, dia membantuku membereskan, lalu beranjak mandi. Aku mengganti pakaianku dengan pakaian yang akan aku gunakan ke kampus. Setelah itu, kami berangkat.

Mobil sedan Devan memasuki halaman kampus. Banyak orang yang memperhatikan kami. Tak jarang, aku melihat kawanan anak perempuan berbisik-bisik. Ini adalah hari terakhirku kuliah disini karena besok aku akan izin untuk mempersiapkan kepindahan.

Devan menggangengku dengan santai melewati lorong yang ramain dengan geng-geng anak perempuan. Aku mendengar salah satu anak perempuan berteriak dengan kencang.

"Apaan tuh? Wanita sok jual mahal, tapi jual murah ke cowok ganteng."

Wanita itu melirikku sinis. Teman-teman yang ada di sampingnya ikut menertawakan. Seakan aku tidak punya kuping. Tidak kusangka, Devan menarik tanganku ke arah kawanan anak perempuan itu. Dia berdiri gagah di depan mereka.

"Bilang apa tadi?"

Para wanita itu diam dan gugup. Mereka saling lirik satu sama lain. Beberapa juga mendengus sebal.

"Gue dapetin dia ga semudah yang lo pada pikirin, dan dia satu-satunya harta yang ga pernah bisa gue beli." Devan berkata pelan tapi tajam. Aku tahu dia tidak biasa membentak perempuan.

Devan lantas menarik tanganku menjauh. Tidak peduli lagi dengan kawanan anak perempuan itu. Tampangnya masih terlihat kesal.

Sebenarnya kami sudah melewati kelasnya, tapi dia lebih memilih mengantarku.

"Jangan didengerin ya, yang kayak gitu," ucapnya ketika sampai di kelasku.

"Ahaha, aku emang ga pernah dengerin Devan."

Dia tersenyum, mengacak rambutku, lalu pergi ke kelasnya.

Aku diam menatap tasku di atas meja. Memikirkan hal yang membebani pikiranku belakangan ini. Apa aku harus benar-benar pegi? Aku bahagia sekali disini. Mungkin ini pertama kalinya aku sebahagia ini, tapi kenapa aku harus pergi?

Aku mendengus sebal, membenamkan wajahku di atas tas, memilih untuk tidur. Siapa tahu, ketika aku terbangun, mimpi buruk itu sudah lewat—atau kalau bisa lebih, mimpi buruk itu tidak pernah ada.

Sayangnya tidak mungkin. Aku tidak pantas berkhayal disaat seperti ini.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang