bab 27

9 2 2
                                    

"Kenapa semalem kamu matiin telponnya?" tanya Devan keesokan harinya di kampus.

"Kamu nyuruh aku ngeliatin kamu tidur?" Aku menjawab pertanyaan Devan dengan pertanyaan.

Devan hanya tertawa kecil sambil memperlihatkan barisan giginya. Aku mengacak rambutnya, lalu membenarkannya lagi.

Semenjak hari itu kami sangat dekat, sering nongkrong di cafe depan kampus, kita juga tidak jarang untuk jalan. Hidupku sangat berwarna, aku merasa dilindungi dan juga disayang-walau sebenarnya aku masih belum mengerti isi hati Devan. Kenapa dia sangat baik denganku? Kenapa dia memperlakukan aku berbeda? Biarlah itu menjadi pertanyaan yang selalu terkubur di hatiku, dan Devan berhasil membuatku berharap.

Dan tentang note itu, aku sudah berhari-hari tidak mendapatkannya semenjak Devan bersamaku. Aku tidak ambil pusing, mungkin orang itu sudah melihat aku mempunya pelindung? Atau dia dia sudah lelah mengirim note? Aku tidak peduli.

🔰🔰

Sudah beberapa hari ini Devan jarang menelponku seperti biasa, ketika kami nongkrong juga bicaranya jauh lebih cuek dari biasanya, dia bahkan pura-pura tidak melihat ketika aku ada di sekitarnya.

Siang ini, aku milihat Devan berjalan di seberang kampus seperti biasa. Aku memanggilnya, menyuruhnya untuk berhenti melangkah. Dia menurut, tapi yang tidak biasa adalah kali ini dia tidak membantuku untuk menyebrang seperti saat itu. Aku dari kejauhan menatap wajahnya-apa aku ada salah? Atau aku mengecewakannya?

"Kalo mau ngomong cepetan! Aku ada urusan." Suara Devan terdengar kencang dari seberang.

Aku sedikit tidak percaya bahwa dia akan merespon seperti itu. Benar-benar bukan seperti Devan yang biasanya. Apa dia terlalu sibuk?

Aku menggeleng-membiarkannya untuk pergi. Dia langsung pergi tanpa berkata apapun kepadaku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sekarang aku hanya menunduk menatap ujung kakiku di pinggir jalan seperti orang bodoh.

Aku berusaha tidak menggubrisnya. Mungkin saja dia sedang ada masalah atau tugas kuliah membebaninya. Aku tidak ingin ambil pusing-tidak ingin berpikir berlebihan lagi. Aku akan mencoba berbicara padanya lagi lain waktu.

🔰🔰

Pagi ini aku melewati lorong kelas yang masih sepi. Aku mengamati sekitar dan pandanganku terhenti pada seseorang yang sedang bersandar di dinding dekat kelasnya sambil mendengarkan musik.

"Devan!" panggilku.

Dia mendongakkan wajahnya yang semula menunduk menatap handphone. Dia tidak menyapaku balik dan hanya menatapku yang melangkah mendekatinya.

"Nanti pulang kita liat performance di centra kota yuk!" ajakku padanya.

"Nanti ga bisa, aku ada kumpul komunitas," jawabnya.

"Yahh, kalau besok gimana?" tanyaku lagi.

"Ga bisa, Dhira, banyak kerjaan yang harus aku lakuin," jawabnya. "Kamu pergi sendiri aja sana, kalau ga ajak Rendi, emang harus banget sama aku?" Dia menjawab sambil memalingkan wajahnya dan tak menatapku.

"Oh yaudah maaf ganggu waktu kamu," ucapku. Aku langsung pergi meninggalkannya—tidak ingin melihat ekpresi wajahnya. Aku sungguh bingung. Biasanya dia ingin melakukan apa aja asal aku yang mengajaknya.

Aku tidak mengerti kenapa dia bisa berubah secepat itu—seperti beberapa hari yang lalu bukanlah dirinya. Apa aku tidak sesuai ekpektasi dan dia sudah muak denganku? Atau memang ini dirinya yang sebenarnya? Kenapa rasanya sesakit ini?

Tuhan, kenapa semuanya berubah secepat ini?

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang