Devan 1

7 3 4
                                    

Aku membuka mataku, melihat sekeliling. Semua orang yang ada di ruangan itu bersama-sama mengucapkan syukur. Mamah langsung lompat memelukku. Papah dan Diko juga ikut menimbrung. Semuanya terlihat begitu bahagia. Akupun bahagia.

Setelah mengecek kondisiku, kedua orangtuaku mengucapkan terimakasih pada dokter, lalu dokter itu mengelus ujung kepalaku sambil tersenyum, dan pergi meninggalkan kami.

Aku melihat Rendi dan Yuna terpogoh-pogoh masuk ke dalam kamarku.

"Devan!!!" pekik Yuna. Dia memelukku lalu menepuk pipiku pelan. "Kamu akhirnya sadar juga Devan. Aku tidak menyangka jika aku sudah kehilangan Nathan aku juga harus kehilanganmu." Aku mengelus ujung kepalanya dan tersenyum.

Rendi yang memperhatikan dari jauh terlihat cemberut. "Dia yang meluk, lho, Ren," ucapku padanya.

"Gapapa, bro. Gue bersyukur banget lo bisa sadar lagi."

Sejak tadi, sebenarnya pikiranku isinya hanya Dhira. Dimana dia? Kenapa tidak ada disini?

"Dimana Dhira?"

Seluruh isi ruangan terdiam. Mamah mendekatiku lagi, dan mengelus pipiku. "Dia sudah pulang hampir setahun yang lalu. Mamah yang menyuruhnya."

Aku berusaha mencerna kalimatnya. Sudah selama itukah aku koma? Tapi rasanya baru beberapa hari yang lalu aku mendengar suaranya. Ah- mungkin aku memang terlalu merindukannya.

"Dia pingsan saat kamu kritis. Sepertinya dia mengiramu sudah tidak ada, Devan. Saat itu Mamah tidak berani memberi kepastian apakah kamu sembuh lagi atau tidak. Jadi Mamah menyuruh Rendi dan Yuna yang mengantarkannya ke bandara untuk diam saja."

Dhira bisa jadi tidak tahu jika aku masih ada? Lalu bagaimana jika dia menemukan yang lain? Bagaimana jika dia sudah melupakanku? Aku tidak akan membiarkannya.

"Aku ingin ketemu Dhira, Mah."

Mamah dan Papah saling pandang, lalu menatapku setelahnya.

"Tunggu kondisimu membaik, Devan," ucap Papah.

"Tapi kapan?" tanyaku.

"Tunggu satu bulan baru kamu bisa kesana."

Aku hanya mengangguk menurut. Padahal dalam hati aku berdecak sebal. Bagaimana jika sekarang dia belum melupakanku tapi satu bulan kemudian sudah melupakanku? Tidak apa, Devan. Kamu harus sabar, ucapku dalam hati untuk menenangkan diri.

Mamah dan Papahku pamit untuk keluar kamar. Rendi dan Yuna yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan mendekatiku.

"Udah lama banget gue ga denger suara lo," ucap Rendi.

"Bilang aja kangen," jawabku malas.

"Lo bener-bener halus sama Dhira doang, kambing," ucapnya sebal.

"Udah badak diam aja."

Pandanganku beralih pada Yuna yang sejak tadi memperhatikanku.

"Kamu beneran udah gapapa?" tanya Yuna.

"Tidak apa-apa," jawabku sambil tersenyum.

"Selama Dhira menunggumu satu bulan penuh disini, hatiku penuh rasa iri," ucapnya. Aku hanya diam mendengarkan dan menunggunya melanjutkan.

"Dia cantik dan sabar. Ga seharusnya aku cemburu dengannya saat SMA," ucapnya sambil menoleh ke Rendi. "Kamu beruntung sekali dapat Dhira, Devan. Dia sangat menyayangimu, aku tahu itu. Setiap hari dia berusaha tersenyum dan mengajakmu berbicara. Walau dia tahu kamu tidak akan menjawabnya."

Aku tersenyum ke arah sahabat kecilku ini. Dia benar, pasti Dhira sangat menyayangiku seperti aku menyayanginya.

Tiba-tiba Rendi berdeham keras. Yuna langsung melirik ke arahnya. "Sewot aja," sindir Yuna. Rendi melihat ke arah lain sambil berdecak sebal.

"Kalian cocok," ucapku sambil tersenyum malu-malu.

Rendi langsung gugup dan gelagapan sambil menyumpah-serapahiku berbagai nama hewan. Sedangkan Yuna mencubit lenganku berkali-kali. Bisa jadi, aku koma lagi karena dua orang ini.

Tak pernah kusangka dari dulu, jika dua orang ini bisa bersama.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang