bab 11

9 3 5
                                    

Semua murid berhamburan keluar kereta. Wajah lesu mereka, tidak mampu menutupi rasa senang di hati masing-masing. Beda denganku, lesu ya lesu saja.

Kami naik bus dari stasiun menuju hotel. Sampai di bus aku tak pikir panjang, tak peduli apa yang akan dikatakan pemandu, aku memilih duduk dan beberapa detik kemudian tertidur. Ini melelahkan sekali, memikirkan hal yang hanya terjadi kebetulan—semalaman.

🔰🔰

Sampai di hotel, aku dan teman-teman sekamarku mencoba untuk tertidur—tapi anehnya tidak ada yang bisa tidur.

Kami menghabiskan waktu bersama, masak mie instan, karaoke, kejar-kejaran, sampai kami tiba di suatu momen—momen ketika kami menceritakan masalah kami masing-masing. Saling mendengarkan, saling menasihati, saling menguatkan. Itu hal yang melegakan—harusnya.

Tiba-tiba aku menangis, berteriak, dan membuat teman-temanku bingung. Ini selalu mengingatkanku betapa aku rindu orangtuaku yang dulu. Aku ingin cerita—itu yang ada di pikiranku, tapi tak bisa. Mulutku rapat, tanganku gemetar, kepalaku pusing. Mereka hanya mengelus-elus punggungku—wajar, mereka pasti juga bingung, aku juga bingung.

Ck-ini menyedihkan sekali.

Dari situ kami berusaha saling menguatkan, saling percaya bahwa tak ada yang baik-baik saja di bumi ini. Kita berjalan di atas bumi yang sama, dan di bawah langit yang sama—cukup menandakan bahwa kami sama-sama manusia.

🔰🔰

Kami sudah tiba di destinasi selanjutnya. Tanpa perlu himbauan, murid-murid sudah berpencar dengan geng masing-masing.

Sekarang aku masih berlima, lihat saja 15 menit kemudian, paling aku hanya tinggal bersama Jessi—dan benar. Sebenarnya aku tidak bisa membayangkan apa jadinya aku, jika tidak ada makhluk bernama Jessi ini.

Aku hanya berkeliling bersama Jessi, melihat teman-teman yang sedang berfoto ria, sesekali menaiki wahana—sejatinya disana hanya taman, tapi ada sedikit wahana agar tak membosankan sepertinya. Walau belum semua jalan kami lewati, kami sudah lelah, kami memutuskan untuk duduk di bawah pohon sambil makan es krim—berjongkok. Memang dari semua murid, aku dan Jessi adalah tipe yang diem-diem malu-maluin.

"Ya Allah, kasihan sekali hamba melihatnya, mana hamba tidak ada receh," ledek Rina yang tiba-tiba datang.

"Minggir Rin, pemandangannya jadi jelek gara-gara ada lo," kata Jessi sambil mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir Rina.

"Noh liat temen lo, Jes. Kayak ga ada semangat hidup," ledek Rina lagi.

"Angin bawalah diriku melayang~." Lagi-lagi aku mengeluarkan kalimat yang tak sengaja ada di kepalaku. Rina dan Jessi menatapku kasihan.

"Udah ah, Jes, ayok jalan lagi. Males digangguin bebek," ajakku pada Jessi.

Jessi mengangguk, kami berdua berdiri, meninggalkan Rina yang masih cemberut di tempat.

Aku dan Jessi bukanlah orang yang suka berfoto, kecuali ramai-ramai. Kami melihat kalangan anak hits yang foto dengan berbagai macam bentuk. Kepikiran saja ya, mereka foto dengan gaya aneh-aneh seperti itu, kataku dalam hati. Sedangkan aku mungkin akan mati gaya jika difoto.

Beberapa kali aku menyapu pandangan kesekitar. Barangkali aku melihat kumpulan anak cowok kelasku—siapatau di salah satunya ada Devan. Tapi nihil, aku tak melihatnya lagi sejak semalam.

Aku tersenyum kecut. Semalam hanya kebetulan. Tidak usah berharap.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang