bab 34

3 2 1
                                    

"Hah? Gimana?" Sebenarnya aku mendengarnya dengan jelas walau dia berbicara sangat pelan. Aku hanya ingin mendengar responnya.

"Ga-gapapa, nanti aku coba buat yang lebih bagus daripada ini." Responnya menggemaskan sekali, membuatku tersenyum lebar kearahnya. Dia ikut tersenyum kearahku—mungkin karena aku jarang memperlihatkan senyum selebar ini kepadanya.

Dia menuju kasir, membayar peralatan yang dia beli. Saat ini aku mengerti bahwa Devan cukup berduit karena dia membeli peralatan yang cukup mahal. Kami keluar dari toko tersebut.

"Habis ini mau kemana?" tanyanya.

"Pulang aja deh,Dev," ucapku, dia hanya mengangguk. Beberapa saat kemudian aku tersadar, "Eh-Dev," ucapku sambil menarik jaketnya.

"Iya, kenapa Ra?"

"Boleh ajarin aku melukis? Waktu itu aku lihat lukisanmu bagus-bagus sekali."

Dia mengacak rambutku sambil tersenyum, lalu mensejajarkan wajahnya denganku dan berkata lembut, "Boleh, besok minggu ya."

Aku mengangguk antusias. Selama ini aku hanya pandai menggambar, tapi tidak dengan mewarnai dan melukis. Ada saja hal yang membuatnya jadi jelek-aku juga bingung kenapa.

Dia mengantarku sampai ke depan pintu apartemenku—katanya supaya dia tahu aku tinggal dimana. Dia tidak masuk, benar-benar hanya mengantarku sampai depan. Tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari kantong belanja di Potentiartenya tadi.

"Nih kanvasnya, kamu gambar aja yang kamu mau, besok tinggal warnain di rumah aku."

"Makasih, Devan."

Dia mengangguk. "Besok aku jemput jam 10 ya," ucapnya.

"Aku kan bisa kerumah kamu naik ojek."

"Udah ga usah. Pokoknya aku jemput." Karena dia memaksa aku hanya bisa mengangguk pasrah.

Dia pamit, meninggalkan aku di depan apartku. Aku melihat kanvas itu, memeluknya kegirangan, lalu masuk ke dalam. Pasti besok seru sekali, batinku. Jarang ada yang mengajarkanku melukis, dan karena Devan mau, aku jadi sangat senang sekarang.

Aku membuka buku-buku gambar lamaku. Yang membuatku tertarik adalah buku gambarku 4 tahun lalu. Awal mula aku mengenalnya, ternyata sudah lama sekali. Siapa yang sangka dia akan ada di sisiku sekarang? Bahkan diriku sendiri tak menyangkanya.

4 tahun yang lalu, aku melihatnya bermain gitar dengan teman-temannya, tertawa bersama Jessi, melihatnya menggambar sambil mendengarkan lagu dengan earphonenya, dan tanpa disadari dia juga menyukaiku—persis seperti di novel-novel yang aku baca.

Sekarang dia disini. Jadi satu-satunya manusia yang memberikanku makna hidup. Makna yang tak pernah diberikan oleh orangtuaku atau siapapun.

Aku mengelus sampul buku gambarku yang berwarna coklat dan sedikit berdebu itu. Buku yang membuat banyak topik untukku dan dia pada masanya.

Aku mengambil kanvas yang tadi dia berikan, mengambil pensil dan penghapus, dan jari-jemariku mulai bergerak lincah di atasnya—membuat pola-pola.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang