bab 20

6 3 0
                                    

Tangan besar nan hangat itu lagi-lagi menggenggam tanganku, membantuku untuk menyebrang. Dia merentangkan satu tangannya, membuat beberapa pengendara memelankan lajunya, sampai kami tiba di sebrang.

"Terimakasih," ucapku. Kali ini aku berhasil berterimakasih. "S-siapa na-" kalimatku terputus, dia langsung meninggalkanku begitu saja.

"Ihh, setidaknya jawab dulu! Orang lagi mau nanya juga!" Aku mencak-mencak sebal, tapi orang itu tidak peduli dan tetap jalan begitu saja.

"Bodo amat! Aku pasti bakal tahu siapa kamu!" teriakku dari kejauhan.

Aku kesal lalu memutuskan untuk masuk ke cafe. Wangi kopi cappucino yang menyambutku, bahkan sudah bisa menenangkanku. Tanpa pikir panjang, aku memesannya lalu duduk di meja dekat jendela besar.

Aku menghabiskan waktu cukup lama di cafe itu, mengerjakan tugas, mendengar musik, berkali-kali memesan menu. Sampai hanya tinggal beberapa menit kelas selesai, aku memutuskan untuk pergi dari cafe itu. Ya, aku berangkat ke central kota—taman yang cukup luas, di tengah kota.

Sekarang jam 2 siang—hari ini jadwal kelas memang lebih cepat. Benar saja, ketika sampai disana aku melihat performance yang sedang mempersiapkan pertunjukan. Keren sekali, mereka tampil di depan air mancur besar, tepat di tengah taman.

Aku menunggunya, kurang lebih 15 menit sampai akhirnya mereka siap untuk tampil.

Alunan musik mulai terdengar. Aku mengenal lagu ini, lagu yang 4 tahun lalu aku nyanyikan di depan kelas—The Show milik Lenka. Suaranya jauh lebih bagus dari milikku saat itu. Melodi terdengar anggun keluar dari alat musik tradisional.

Semua mendengarkan dengan tenang, ada beberapa yang ikut bernyanyi termasuk aku. Aku berada di barisan paling depan, dan bisa melihatnya dengan jelas. Saat musik berakhir, semuanya bertepuk tangan meriah. Yang tidak aku sangka, salah satu performance mendatangiku. Memberikan note berwarna hijau dan boneka pinguin berbalut kain beludru halus. Jelas aku kaget sekali.

"Untukmu, Tuan Putri," ucapnya sambil membungkuk.

"Kamu tidak salah orang?" tanyaku memastikan.

"Jelas, kamu Dhira Samantha," jawabnya.

Aku jelas menerimanya karena itu benar namaku dan untukku. Beberapa penonton bertepuk tangan, dan aku yakin mereka tidak sepenuhnya tahu apa yang terjadi.

Aku memutuskan untuk mundur dari kerumunan, mencari bangku kosong, lalu membaca note tersebut.

Ketika note ini sudah sampai di tanganmu, aku yakin kamu sudah menerima bonekanya juga. Nama bonekanya, Pingku, kamu bisa kapan saja mengajaknya mengobrol. Tenang, aku tidak menaruh barang pengintai apapun kok hahaha. Dia pinguin paling berbeda di toko jadi aku membelinya untuk orang yang berbeda juga sepertimu. Semoga kamu senang, Tuan Putri.

"Iya aku senang sekali," bisikku sambik tersenyum. Aku memeluk boneka itu erat—wangi dan lembut. "Salam kenal, Pingku, aku Dhira."

"Ngomong sama boneka di tengah taman kayak gini, epik juga lo," kata seseorang berdiri di depanku.

"Rendi?"

"Kebetulan gue lagi disini, lo waktu itu ngajak ke museum seberang situ, kan? Yaudah ayok sekarang aja."

Aku mengangguk, beranjak berdiri. Sebelum lulus aku cerita kepada Rendi bahwa aku saat ingin pergi ke museum lukisan di kota ini. Akhirnya hari ini adalah waktu yang tepat.

Selain aku suka lukisan, lukisan juga mengingatkanku pada Devan. Ah, sudah lama sekali aku tak menyebut namanya.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang