End

10 2 3
                                    

••
Tuhan mempertemukan kita, bukan untuk menyatukan, tapi untuk menyuruhku berhenti menunggu.
••

Hari ini cerah, matahari tersenyum ke arahku yang berangkat riang ke kampus sambil jalan kaki karena kampusku yang dekat. Tidak terasa, hari ini sudah setahun sejak kepergian Devan.

"Halo matahari! Halo awan! Kalian jangan bertengkar ya. Nanti Tuhan marah jika kalian bertengkar. Kalau Tuhan marah nanti dia ngambek dan gamau jaga Devan," ucapku pada langit. Aku tidak peduli jika ada orang yang menganggapku aneh.

"Hi Dhira!" panggil kedua temanku menghampiriku.

"Hi Feli! Hi Cloe!" jawabku girang.

"You look so happy right now." ucap Cloe.

"What's wrong?" tanya Feli.

"Nope. I'm just make my day feel good. Spirit is important, right?" jawabku. Mereka mengangguk setuju. Kami tak henti-hentinya berbincang sampai di kampus.

Dua orang ini sama hebohnya seperti Tika dan Bina. Yang membedakan hanya negara hahaha. Aku berusaha mewarnai lagi hidupku dan melupakan apa yang sudah terjadi. Mencoba berdamai dengan masa lalu dan membuka lagi hatiku.

🔰🔰

Kelas sudah selesai. Seperti biasa, aku ingin menyendiri dulu di dekat sungai. Bukan sungai di negara lamaku, tapi sungai di negara ini. Jujur tempat ini jauh lebih bersih daripada yang ada di negara lamaku.

Angin semilir menerpa wajahku. Ranting-ranting serta daun-daunnya bergoyang-goyang lihai ikut diterpa angin. Air sungai mengalir kompak tanpa meninggalkan satu sama lain. Aku lihat beberapa angsa sedang menyeduh air sungai.

Aku mengambil buku catatan di tasku. Membuka halaman paling belakang, dan tidak lupa mengambil pulpenku. Aku ingin menulis surat yang tidak akan pernah aku sampaikan kepada penerimanya.

Untuk Devan Ardlo

Halo Devan! Apa kabarmu disana? Aku tahu pasti banyak malaikat yang naksir padamu karena kamu baiknya juga seperti malaikat, eh- kamu juga tampan kok hehe. Kamu tahu Devan? Aku melewati banyak hal. Sejak awal aku menyukaimu di bangku SMP, aku tidak sadar bahwa dalam lubuk hatiku, aku sudah bertekad untuk selalu menunggumu. Tuhan baik, Devan. Dia mempertemukan kita, tapi bukan untuk menyatukan, melainkan untuk berkata padaku bahwa aku harus berhenti menunggu. Aku tidak pernah marah dengan siapapun lagi, Devan. Ayah, Ibu, orangtuamu, Rendi, Yuna, bahkan semuanya, aku berusaha untuk menerimanya. Aku yakin mereka semua adalah orang baik, sama sepertimu. Kamu lihat, sekarang aku sudah punya banyak teman. Seperti katamu, harapan dan memaafkan adalah kunci terbaik, dan jangan lupa untuk dibarengi dengan senyuman. Aku masih membawa semua note dan suratmu, bahkan Pingku. Ahahaha aku sangat menyayangi Pingku. Awalnya aku sedih karena tidak bisa melihatmu untuk terakhir kali, mengantarmu ke tempat peristirahat, dan semacamnya, tapi sekarang aku tidak apa, aku memilih untuk berdoa sepuas hatiku untukmu. Tuhan pasti memberimu tempat terbaik disana, Devan. Aku mencintaimu.

Tertanda

Dhira Samantha.

Aku melipat dan memasukkan surat itu ke dalam amplop kecil berwarna merah muda, lalu manyelipkannya di salah satu dahan ranting di pohon dekatku duduk. Walau tidak mungkin, aku berharap amplop ini terbawa angin dan tertiup sampai kelangit agar dibaca oleh Devan. Saat-saat menyedihkan seperti ini, kadang-kadang membuatku tak berpikir waras.

Aku meninggalkannya di dahan dekat sangkar burung dan menitip salam pada seekor burung dengan anak-anaknya itu. Mereka terlihat seperti keluarga yang bahagia. Bersama seseorang yang dicintai memang sebegitu membahagiakannya. Aku membiarkan burung-burung itu menjadi saksi bisu kemana surat itu akan pergi.

Aku berjalan kepinggir taman, berdiri di halte, dan memutuskan untuk pulang naik bus. Saat aku ingin naik, seseorang menarik tanganku, membuat tubuhku berhenti untuk naik dan terseret mengikuti tanganku pergi. Aku jatuh di pelukan seseorang.

"Kali ini kamu salah, Ra. Tuhan mengabulkan harapanmu. Aku bangun dan sehat kembali."

-End-

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang