bab 50

4 2 0
                                    

Pagi ini, di kamar Devan aku sedang sibuk menggambar di buku gambarku. Tanganku bergerak-gerak lihai membentuk garis-garis dan arsir. Ketika merasa bentuknya sudah bagus, aku menunjukkannya pada Devan.

"Devan! Lihat deh! Aku gambar kamu!"

Devan tidak menjawab, jelas saja karena dia masih koma. Aku tidak peduli, aku akan terus mengajaknya berbicara.

"Aku tahu kamu aslinya sedang tersenyum Devan," ucapku sambil tersenyum jahil.

Mamah Devan masuk kedalam kamar, dan melihatku yang tersenyum girang sendiri.

"Aduh, kenapa ini pagi-pagi udah senyum-senyum," ucapnya sambil menarik bangku agar bisa duduk di sampingku.

"Aku gambar wajah Devan, tante," ucapku masih sambil tersenyum girang. "Aku tahu Devan pasti suka."

Mamah Devan mengalihkan pandangannya ke buku gambarku, dan mengambilnya, "Wah bagus sekali! Sangat mirip dengan anak tante. Kamu sangat berbakat sepertinya." Dia masih tersenyum memandang gambar itu, lalu kurasa, tiba-tiba dia mengingat sesuatu.

"Dhira," panggilnya.

"Iya, Tante?"

"Hari ini ke rumah, yuk! Tante ingin menunjukkan kamu sesuatu yang menarik."

Aku melirik kearah Devan. Apa tidak apa aku meninggalkannya sebentar?

"Tidak apa," jawab Mamah Devan seakan bisa membaca pikiranku. Aku yang merasa terciduk, akhirnya mengangguk dan tersenyum. Mamah Devan pamit kepada suami dan adek Devan yang akan bergantian menjaga Devan. Aku ikut mengucapkan salam lalu pergi ke rumah bersama Mamah Devan.

Kami tiba di rumah Devan. Keadaannya masih sama saat pertama kali aku kesini. Rumah yang rapih.

Dia mengajakku masuk ke ruang seni Devan dan menyuruhku duduk di sofa. Dia membuka salah satu lemari disana. Kelihatannya sudah sedikit berdebu. Aku menawarkan bantuan, tapi dia menolaknya—katanya ini kejutan untukku. Dia mengambil sebuah buku gambar, dan kanvas besar.

"Taraa...," ucapnya sambil memberikan dua benda itu padaku. Aku melihat sebuah gambar dan lukisan di keduanya. Aku hampir memekik, keduanya adalah wajahku—dengan bentuk yang sama persis. Aku menutup kedua mulutku.

"Yang ini, Devan gambar ketika dia masih SMP," ucap Mamah Devan sambil menunjuk buku gambar yang sudah usang itu. "Yang ini di lukis ketika dia sekolah di luar pulau."

Dia melanjutkan, "Ahaha, ini yang membuatku merasa familiar dengan wajahmu ketika kita pertama kali bertemu. Aku ingin bercerita tentang ini saat kita makan malam di hari pertama bertemu, tapi aku menahannya karena aku tahu Devan pasti ngambek." Dia tertawa sambil memerhatikan wajahku.

Kedua gambar itu sangat mirip denganku, arsiran dan warna yang Devan pilih, membuatku tetlihat cantik di gambar itu. Aku terharu, maksudku, benar-benar terharu. Air mata sudah ada di ujung mataku, tapi aku menahannya supaya tidak jatuh. "Ini indah sekali tante. Semua yang dibuat oleh anak tante begitu indah." Aku memeluknya.

Dia mengelus kepalaku, menyalurkan kehangatan. "Aku sangat mencintai anak Tante, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Devan memberikan segalanya untukku Tante. Kebahagiaan, kebebasan, perlindungan yang belum pernah aku rasakan. Terimakasih telah melahirkan dan merawatnya dengan baik. Kamu dan seluruh keluargamu adalah malaikat untukku."

Dia memelukku semakin erat. "Terimakasih juga sudah menghadirkan senyuman di wajah anakku yang belum pernah aku lihat, Dhira."

"Pulanglah, Dhira. Aku yakin sebenarnya orangtuamu sangat menyayangimu. Aku juga yakin Devan akan khawatir dengan hubunganmu dan orangtuamu. Aku yakin orangtuamu adalah orang baik. Mereka mengatakan padaku supaya aku menjagamu dan tersenyum ramah padaku. Jadi tolong pulang  ya, Sayang. Devan akan baik-baik saja," lanjutnya. Aku merasakan ketenangan dan kehangatan, membuatku berpikir bahwa pulang bukan hal yang buruk. Aku tidak bisa mengecewakan orang tuaku seperti aku tidak ingin mengecewakan wanita ini.

Lagi pula, aku yakin malaikat ini akan menjaga anaknya dengan baik.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang