bab 28

6 2 0
                                    

Aku memutuskan untuk pergi ke sungai seperti biasanya, duduk di tempat seperti biasanya, dengan suasana yang juga sama seperti biasanya. Aku tidak peduli apakah akan ada copet seperti saat di central kota atau tidak-pikiranku tidak bisa mengarah kesitu.

Aku hanya duduk bengong, menatap aliran air yang bergerak seirama, sesekali mataku silau karena air itu memantulkan cahaya matahari. Aku melakukan hal yang sama seperti saat itu-membenamkan wajahku di lipatan tangan dan kaki sebagai tumpuannya. Aku melirik tasku, sayangnya tak ada note itu lagi disitu.

"Apa pengirim note itu tidak melihat jika aku sedang sedih? Kenapa dia ikut menyebalkan juga seperti Devan? Ayolah aku sangat butuh semangat," ucapku mencak-mencak sebal sendiri.

Apa aku sudah berharap terlalu jauh dengan Devan? Apa aku sudah membutakan hatiku sendiri sampai-sampai aku tak mengenal siapa Devan sebenarnya? Apa Devan beberapa hari lalu hanya ilusiku saja? Tuhan kenapa kau tidak memberikan pesan pada hatiku supaya aku berhenti berharap? Kenapa kamu membiarkan aku jatuh terlalu dalam?

Aku berusaha tidak menangis. Sejak Ayahku mempunya cewek lain, aku bersumpah pada hatiku untuk tidak menangis karena seorang pria. Aku belajar kuat dari masalah keluargaku, berusaha menangani perasaanku sendiri, dan aku berjanji ini terakhir kali aku patah hati pada seseorang yang memberi kepastian saja tidak.

Tidak akan ada harap setelah ini.

🔰🔰

Aku kembali ke Dhira yang lama. Dhira yang kemana-mana selalu sendiri, Dhira yang selalu tidak peduli dengan sekitar, Dhira yang tidak mempunyai banyak teman. Aku sudah tidak memedulikan keberadaan pria itu lagi. Sesekali aku berpas-pasan dengannya, tapi aku enggan untuk menyapanya.

Suatu hari aku berpas-pasan dengannya di lorong kampus. Aku kira dia akan melewatiku seperti biasanya, tapi kali ini dia menahan tanganku. Aku terpaksa berheti mengikuti tanganku. Dia hanya diam menatap mataku, aku membalasnya tanpa berkutik sedikitpun.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

Aku hanya diam sambil melengos ke arah lain. Jelas saja beberapa hari ini dia yang kenapa.

"Bisa lepasin tangan gue? Gue ga ada urusan lagi sama lo," ucapku padanya.

Bukannya melepaskan tanganku, dia malah menarikku ketempat yang sepi. Aku berusaha tetap tenang dan menuruti keinginannya. Dia masih menatap mataku—lagi-lagi aku tak mengerti tatapannya. Aku tidak kuat ada di posisi ini.

"Kenapa lo tiba-tiba pergi ketika lo udah ngasih harapan ke gue? Lo ga ngerti berapa besar arti harapan buat gue? Seakan lo ngasih warna di hidup gue trus lo timpa pakai cat hitam begitu saja. Belakangan ini gue sadar bahwa gue belum kenal lo, Dev," ucapku menggebu-gebu. Aku tak bisa menahan mataku yang memanas, wajahku merah, aku benar-benar ingin memukulnya saat ini.

Dia masih menatap mataku, alisnya mengkerut. Aku tidak mengerti dia menatap mengerti atau menatap kasihan. Aku berusaha melepaskan tanganku—dia tidak menahannya.

"Jangan ngelepas paksa kayak gitu, nanti tangan kamu sakit," ucapnya.

"Gue ga peduli! Ga guna ngomong sama lo!" Aku membentaknya lumayan keras. Aku lantas pergi meninggalkannya yang masih mematung di tempat. Tak habis pikir, dia berubah dalam waktu yang cepat berhari-hari, lalu masih tanya aku kenapa?

Bullshit.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang