bab 17

11 3 2
                                    

Aku mengambil cangkir di laci, membuat kopi dengan air hangat, lalu melangkah ke balkon kamar. Udara hari ini cerah, awan tampak gagah memperlihatkan dirinya, matahari ikut serta menemani.

Penerimaan mahasiswa baru saja selesai kemarin. Aku tidak diterima di univ tujuanku, lumayan sakit karena sejak kecil aku memimpikannya. Aku berusaha menerima nasibku, pindah ke univ yang jauh dari rumah—tinggal sendiri. Sekarang hanya diriku sendiri yang bisa diandalkan. Satu sisi aku senang karena tidak akan mendengar orangtuaku bertengkar lagi, satu sisi aku akan merasa kesepian.

Besok hari pertama kuliah dan aku akan mempersiapkannya dengan baik. Semangat untuk diriku sendiri.

Semoga yang ingin aku capai akan tercapai.

🔰🔰

Aku sudah siap mengenakan sweater warna krem dan jeans warna hitam gelap, rambutku sudah kukuncir dengan rapih. Aku membawa totebag kesayanganku dan memakai sneaker warna putih kesukaan. Siap menjalani hari.

Dua minggu yang lalu aku sudah selesai ospek. Cukup berat, aku harus menggunakan barang-barang menyebalkan dan menyiapkannya susah payah sendirian. Belum lagi kakak senior yang bawel selalu menegur.

Sekarang aku sudah bebas.

Aku berangkat naik ojek online seperti masa SMP. Aku tidak satu kuliah dengan Rendi, walaupun kampus kami tidak terpisah jauh. Entah takdir atau bagaimana, aku tak pernah jauh dengannya.

Aku memasuki halaman kampus, masuk ke fakultasku, melewati lorong, dan langkahku terhenti di depan tangga.

"Sstt... Ada yang mau lewat nih." Itu teman-teman pria seangkatanku—tapi beda kelas. Mereka memang terkenal suka mengganggu orang.

"Kalau mau lewat ada syaratnya dong," ucap salah satu mereka.

"Apa tuh syaratnya?" tanya salah satunya mengompor-kompori.

Dia mendekatiku, memegang daguku, mendongakan wajahku, lalu memperhatikan seluk-beluk wajahku. "Cantik juga," ucapnya menjijikan.

Aku menepis tangannya, memberikan tatapan paling galak yang aku bisa. "Jangan kurang ajar!" bentakku.

"Oh, mulai ngelawan ya, minta dihajar ternyata," ucapnya semakin mendekat, membuatku mendongak untuk melihatnya. Ia bersiap melayangkan tinju padaku. Tangannya sudah terkepal di udara.

Aku pasrah, memejamkan mataku, lalu berusaha menutup wajahku menggunakan tangan. Beberapa detik kemudian, yang kurasakan bukan sakit pukulan, tapi keheningan.

Aku membuka mataku, melihat tinju itu ditahan oleh tangan seseorang. Memakai topi dan masker, membuatku tidak bisa melihat wajahnya. Beberapa saat kemudian, aku melihat pria itu memelintir tangan orang yang hendak memukulku.

Aku lihat wajahnya kesakitan, sedangkan temannya yang lain hanya bisa diam. "Kampus ini bisa nerima orang kampungan kayak lo, ck menggelikan," ucapnya sambil mendorong orang itu.

Dia menarik tanganku, menggenggamnya, lalu membawaku menaiki tangga. Siapa pria ini? Tanyaku dalam hati berkali-kali. Dia berhenti di ujung tangga, melepaskan tanganku, lalu pergi begitu saja. Pikiranku terlalu penuh, sampai aku lupa berterima kasih padanya.

Mampus aku lupa bilang terima kasih.

Aku tidak sempat melihat wajahnya, tapi aku akan selalu ingat kehangatan tangannya. Berkali-kali aku melihat tanganku. Berharap akan ada seseorang yang selalu melindungiku seperti tadi.

Aku tersenyum miris. Terkadang yang kita harap adalah hal yang paling tidak mungkin terwujud.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang