Aku baru saja selesai mandi. Memilih pakaian yang akan aku kenakan untuk pergi ke rumah Devan. Aku tidak terlalu ambil pusing dengan pakaian yang akan aku gunakan. Aku hanya mengenakan t-shirt berwarna hijau lumut dengan gambar macam di tengahnya, lalu kupadukan dengan celana jeans navy, dan tidak lupa sepatu sneakers putih kesayanganku. Sedangkan rambutku, kubiarkan tergerai dengan beberapa jepit warna-warni menghiasi.
Tepat ketika aku selesai, aku mendengar bunyi pintu yang diketuk. Aku lantas membukanya. Sesuai dugaanku, itu benar Devan. Dia mengenakan hoodie abu-abu dengan jeans berwarna hitam—dan tentu, dengan rambutnya yang acak-acakan. Lengan hoodie yang kepanjangan membuat jari-jemarinya hanya setengah menampak, membuat kesan menggemaskan di dirinya semakin terlihat.
"Ah, Devan sebentar aku ambil tas dulu," ucapku padanya. Dia hanya mengangguk.
Setelah mengambil tas, aku keluar apart, dan mengunci pintunya. Aku hendak berjalan, tapi Devan masih diam di tempat dan tidak berhenti menatapku.
"Kenapa? Mau digandeng lagi?" Tanpa pikir panjang aku menggandeng tangannya, tapi dia menggeleng. "Terus kenapa?"
"Kamu cantik," jawabnya sambil menggaruk tengkuknya.
Aku tertawa, "Ahaha, makasih Devan." Lalu aku berjalan mendahuluinya—sejujurnya karena wajahku merah mendengar pujiannya yang polos itu.
Dia berlari kecil menyusulku, lalu menggandeng tanganku. "Aku juga mau digandeng," ucapnya. Lalu aku menggandeng tangannya erat sekali-antara menurutinya dan juga gemas.
🔰🔰
"Nah kamu duduk disini aja," perintah Devan ketika kami sudah sampai di ruang seninya.
Aku duduk di depan easel yang sudah kupasang kanvasku. Dia menempatkan easel ini di samping sebuah jendela besar yang mendapat banyak sinar matahari.
"Nih cat airnya, kamu coba sendiri dulu untuk dasarnya ya," ucapnya padaku, dan dia tiba-tiba memanggilku, "Eh tunggu sebentar!"
"Kenapa?"
"Aku mau nanya sebentar boleh?"
Aku mengangguk, menggeser tubuhku untuk menghadapnya. Dia bertumpu dengan lututnya di sampingku, dan membuatku terpaksa menunduk untuk melihatnya.
"Jadi... kamu mau jadi pacarku?"
Aku speechless-tidak menyangka bahwa dia akan menanyakan hal ini. Aku terdiam, mataku tidak bisa mengalihkan dari matanya yang menunggu jawaban. Tiba-tiba aku ketakutan, tanganku gemetar, aku tidak tahu harus merespon apa. Semua pikiran memaksa untuk keluar, tapi mulutku menguncinya rapat. Tiba-tiba dia menangkup tanganku dengan kedua tangan besarnya-memberiku ketenangan.
"Gapapa, Ra, gapapa. Ga usah dijawab," ucapnya sambil tersenyum-senyum paling menenangkan di bumi. "Ga usah dipaksain, lupain aja. Ra ga jadi pacarku, juga aku akan tetap sayang sama Ra."
Aku ingin menangis saja rasanya saat ini, tapi aku mati-matian menahannya karena takut membuatnya khawatir. Aku menatap mata seseorang yang tulus mencintaiku, tanpa aku bisa membalasnya. Sedari dulu aku salah, ternyata perasaan pria ini jauh lebih tulus dari milikku. Aku ingin memilikinya, Tuhan.
"Mulai saat ini aku tidak akan membuat Dhira berharap lagi, karena aku akan selalu menyayangi Dhira Samantha," ucapnya sambil mengacak rambutku, lalu beranjak mengambil peralatan melukis yang lain.
Aku menengok melihat punggungnya. Berharap bisa memeluknya dan berkata bahwa aku sangat mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomanceNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...