Aku menangis keras sekali saat membacanya. Tidak menyangka bahwa orang yang menulis surat seindah ini sedang terbujur kaku dan tidak sadarkan diri di hadapanku, dengan kabel-kabel menyebalkan yang aku tidak tahu fungsinya untuk apa. Aku menengadahkan kepalaku, dengan satu tangan menutupi mataku.
Mamah Devan hanya terdiam di sampingku. Aku tahu, dia juga sakit, tapi dia tidak selemah aku. Padahal dulu aku pernah berjanji agar tidak menangis karena seorang pria, tapi pria ini sungguh berbeda.
Aku berusaha mengatur napas, sepenuh usaha mengelap air mata yang nakal minta turun. Aku menoleh ke arah wanita itu. Memberanikan diri untuk mendengar penjelasannya.
"Bagaimana? Bagaimana kronologi kecelakaannya?"
Wanita itu menghela napas panjang. Aku sedikit merasa bersalah karena membuatnya mengingatnya.
"Waktu itu hujan deras sekali, Dhira. Aku sudah melarangnya dan menyuruhnya untuk berangkat jika hujan sudah reda. Sebenarnya dia menurut, tapi dibarengi dengan sorot mata yang kehilangan semangat. Sebagai Ibu, aku tidak tega melihatnya. Jadi aku mengizinkannnya...." Air mata wanita itu mulai berjatuhan. Aku mengusap punggungnya berusaha menenangkan. Dia melanjutkan, "Seperti keterangan saksi mata, Devan melewati arah kelokan tajam di turunan tebing. Ia ngebut, Dhira. Sepertinya, takut bunganya basah. Dia kehilangan kendali, lalu tergelincir di aspal basah itu. Motornya bablas ke jurang dan tubuhnya terpental mengenai tebing—"
"Sudah Tante. Tidak usah dilanjutkan tidak apa-apa," kataku memutusnya karena tidak tega melihatnya menahan tangis seperti itu. Sebenarnya, aku juga tidak kuat untuk mendengarnya lagi. Aku memeluknya erat-erat. Dua wanita yang sama-sama hampir kehilangan malaikatnya ini berusaha saling menguatkan.
Tiba-tiba Rendi membuka pintu, mengagetkan kami berdua.
"Dhira, orangtuamu ada di luar."
🔰🔰
"Papah cuma kasih waktu kamu tiga hari kan, Ra? Terus kenapa ga mau pulang? Gara-gara cowok itu?"
Aku terdiam dan mengangguk pelan. Setidak sukanya aku dengan mereka, aku tidak pernah punya keberanian untuk menjawab apalagi memarahi mereka. Aku berdecak pelan. Mengapa mereka harus sampai menyusul kesini, sih?
"Cowok itu apa pentingnya buat kamu sih, Ra? Pendidikanmu jauh lebih penting," kata Ibu membela Ayah.
"Tapi dia penting sekali, Bu, Yah," jawabku pelan sekali, tapi mereka tetap bisa mendengarnya.
"Pulang, Ra!" bentak Ayah tiba-tiba.
"Yah—"
"PULANG!" bentaknya semakin kencang.
Kami sedang berada di ujung lorong yang sepi dan jarang di lewati orang-orang.
Ibu mendekat kepadaku, dan berbisik, "Ibu bilang berkali-kali, jangan gila sama cowok, Ra."
Aku mendongakkan kepala ke arahnya, dan menatapnya. Aku menggelengkan kepala cepat. Ayahku hanya menatap sinis sambil melipat tangan di dada. Aku benar-benar merasa terpojok karenanya.
"Boleh kalian dengarkan aku sebentar?"
Mereka saling tatap, meminta pendapat satu sama lain. "Silahkan," ucap Ayah.
"Sejak kecil, kalian tidak pernah mengajarkan kepadaku caranya mengungkapkan perasaan. Sampai-sampai aku merasa bahwa perasaanku mati." Aku tersenyum sinis sambil terus menunduk.
"Apa kalian pernah sadar? Ketika aku SMP aku mendatangi psikolog sendirian." Aku tertawa—tidak tahu juga kenapa. Aku hanya sudah tidak bisa menahan rasa sakitku.
"Aku sakit. Alexithymia namanya. Kalian pernah tau? Kalian pernah sadar? AHAHAHA." Aku tertawa semakin keras. Mungkin aku sudah tidak tahu harus menempatkan emosiku dimana.
"Pria itu memberiku kasih sayang yang kalian ungkapkan saja tidak pernah."
••
Aku hanya anak yang tiap malam, bersembunyi di dalam selimut, dengan musik yang sangat kencang untuk meredam semua omong kosong kalian.
••
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomansaNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...