bab 47

3 3 0
                                    

Ini sudah seminggu aku berada disini. Orangtuaku berkali-kali menelpon dan aku sama sekali tidak peduli. Aku masih disini, masih dengan harapan Devan akan bangun secepatnya. Aku membuka tirai jendela di kamar rawatnya. Sinar matahari langsung menerpa wajahku tanpa ampun. Aku kembali duduk di kursi samping ranjang Devan.

Aku memperhatikan wajahnya. Alisnya hitam lebat, hidungnya mancung, bibirnya tebal, bahkan kulitnya sangat bersih. Bolehkah aku iri dengan fisik pria ini? Aku mengelus pipi lembutnya, menekan-nekan jari-jemarinya, terkadang juga menarik ujung bibirnya agar dia tersenyum.

Malaikat yang biasanya tersenyum di sampingku ini, sedang lemah. Mungkin Tuhan tahu dia butuh istirahat, tapi bumi ini membutuhkan sosok sepertinya—apalagi aku. Aku menangkupkan tanganku di salah satu tangannya, membawanya ke dahiku, dan sesekali menciumnya.

"Devan kamu janji ga akan pergi. Kamu janji pasti ada disini trus. Kamu janji nunggu aku sampai kapanpun. Kamu harus nepatin janjimu Devan."

Air mataku sudah menggenang di pelupuk mata. Saat ini aku sudah tidak peduli dengan kata takdir. Aku hanya ingin Devan cepat bangun. Bahkan jika bisa mengulang waktu, aku memilih untuk tidak kesini, daripada Devan harus seperti ini.

Aku mendekatkan kepalaku ke telinganya, lalu berbisik lembut, "Devan, aku mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu."

Aku mengatur napasku sebentar—tidak ingin berbicara berantakan karenanya.

"Kamu tidak pernah kurang di mataku, Devan. Kamu selalu melakukan yang terbaik. Kamu manusia paling tulus yang aku kenal. Terimakasih telah hadir dan merubah hariku, merubah diriku, merubah hidupku. Aku sangat mencintaimu."

Aku mengecup dahinya cukup lama. Air mataku, mengalir dan jatuh di pipinya. Akhirnya aku bisa mengucapkannya, walau di saat-saat seperti ini. Aku memang payah, benar-benar payah.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar pintu kamar dibuka. Membuatku buru-buru menghapus air mataku. Seorang wanita masuk dengan senyumnya. Sungguh, wanita ini membuatku iri karena dia punya hati sekuat itu.

"Kamu sudah sarapan, Ra?" tanya Mamah Devan.

Aku menggeleng. Dia menyodorkan bungkusan berisi sekotak spaghetti. Menyuruhku untuk memakannya.

"Sedih juga butuh energi, Ra," ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. Wanita ini bisa saja membuat hati tenang.

"Kamu tidak dicari orang tuamu?"

"Aku ingin disini."

"Tapi mereka pasti cari kamu."

"Aku bisa mengurusnya nanti, Tante. Jangan khawatir."

Wanita itu mengangguk, tersenyum, sambil menepuk pundakku pelan. Tiba-tiba wajahnya seperti sedang teringat sesuatu. Dia beranjak, lalu berjongkok untuk mengobrak-abrik laci di bawah meja. Aku melihatnya mengeluarkan satu bucket bunga tulip berwarna merah yang sudah berantakan dan kotor. Dia memberikannya kepadaku.

"Itu yang ada bersama Devan ketika kecelakaan. Aku kira, itu sepertinya untukmu."

Aku menerimanya dan buru-buru mengambil dan membuka surat yang menempel di plastiknya.

Untuk Dhira Samantha.

Membayangkanmu membaca surat ini, sudah membuatku senyum-senyum sendiri. Kamu harus tahu seberapa aku menantikan kedatanganmu. Aku akan mengajakmu ke berbagai tempat menarik, Dhira, seperti yang aku janjikan. Bahkan saat pertama kali aku mengenal namamu, dan melihatmu menggerutu karena aku tidak mengenalmu, rasanya kamu orang yang tepat untukku ajak menjelajahi dunia ini. Maaf, aku sempat menjadi pecundang karena tidak pernah bisa menyatakan perasaanku padamu, tapi aku benar-benar belum mengerti arti cinta saat itu. Saat aku sekolah di luar pulau, aku tidak pernah merasakan perasaan yang sama pada seseorang seperti perasaanku padamu. Kamu berbeda, Dhira. Bahkan dari caramu menatap dunia. Seakan kamu tidak membutuhkan dunia, tapi dunia sangat membutuhkanmu. Terimakasih sudah menerimaku di hidupmu, memberikanku celah untuk masuk, memberikan kunci untukku membuka hatimu. Aku sangat mencintaimu.

Tertanda

Devan Ardlo

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang