Epilog

14 3 10
                                    

"Mah, sarapannya sudah jadi belum?" tanya anak sulungku, Henry, sambil menarik-narik ujung bajuku dan sesekali dia menguap—kelihatannya masih mengantuk.

"Loh, kamu sudah bangun, sayang?" Aku menghentikan aktivitas masakku sebentar. Tanpa aku sadari, sejak tadi aku masih terus melamun karena pikiran masa lalu itu tak jarang menghampiriku kapan saja tanpa mengerti keadaan.

"Sebentar, ya, bentar lagi siap kok. Kamu mandi dulu aja sana," ucapku halus. Anak itu mengangguk lalu berbalik badan dan pergi ke kamar mandi. Henry baru masuk kelas 1 SD saat ini, dan dia harus siap-siap untuk berangkat ke sekolah.

Tak lama setelah itu, sarapan sudah selesai dihidangkan. Aku buru-buru pergi ke kamar untuk membangunkan Devan karena takut dia terlambat kerja.

"Bangun, Devan," ucapku sambil menarik tangannya agar dia terduduk. Aku berhasil mendudukannya, tapi dia malah melingkarkan tangannya di pinggangku, lalu menaruh kepalanya di perutku.

"Selamat pagi debay," ucapnya kepada janin di perutku dengan mata yang masih sedikit tertutup.

"Mamahnya ga disapa?" tanyaku padanya. Tanpa pikir panjang dia berdiri dan mencium bibirku cukup lama. Setelah puas, dia melepaskannya, dan tersenyum menatapku.

"Udah disapa hehe."

Aku mencubit lengannya. "Masih pagi ga usah banyak gombal. Mandi sana! Nanti telat."

"E-eh iya, Mamah galak," ucapnya sambil cengar-cengir, lalu kabur pergi ke kamar mandi.

Udah mau punya dua anak, kelakuannya masih sama aja—menggemaskan. Aku tertawa kecil, lalu mengelus-elus perutku yang sudah ingin membuncit lagi ini.

"Kamu itu anak ketiga Mamah. Papah itu sebenarnya anak pertama Mamah, ahahaha," ucapku pada janin di perutku.

Kami menghabiskan waktu sarapan pagi bersama. Tidak jarang, Devan melontarkan guyonan garing kepada anakku. Kadang-kadang aku merasa kasihan pada anakku, karena dia pasti pura-pura tertawa.

Walaupun masih seperti anak-anak, Devan ini adalah suami dan ayah yang baik. Dia tidak pernah membiarkan keluarga ini penuh rasa canggung. Dia sebisa mungkin memberi rasa kasih sayang yang sebanyak-banyaknya.

Aku mengantar sampai gerbang ketika mereka berdua berangkat bersama naik mobil. Aku mencium tangan Devan, dan Henry mencium tanganku, lalu mereka melambaikan tangannya kepadaku ketika mobil itu sudah ingin melaju.

"Dadah Mamah, dadah Adek," teriak Henry ketika mobil itu sudah berjalan. Aku ikut melambaikan tanganku sampai mobil itu menghilang di kelokan jalan.

••
Terimakasih, Tuhan. Kamu berikan kepadaku keluarga yang aku berani mimpikan sejak kecil saja tidak.
••

TAMAT


AAAAAAAA SUDAH SELESAI!

MAKASIH SIAPAPUN YANG SUDAH BACA 😊

Maaf cerita ini masih jauh dari sempurna 👉👈

Aku sedang menyiapkan cerita Rendi dan Yuna, semoga lebih baik :))))

Salam 🙌

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang