Mataku terbuka lebar ketika dia menciumku. Setelah melepasnya, dia langsung pura-pura melihat kearah lain untuk menyembunyikan wajahnya.
"M-maaf Dhira, aku...aku ga bisa menahan perasaanku," ucapnya begitu gugup setelah menciumku.Aku masih menatap matanya, dan dia akhirnya juga menatap mataku. Aku sangat suka matanya, terlihat begitu lugu. Aku tersenyum kepadanya, lalu menyenderkan kepalaku di dada bidangnya. Jujur saja, itu tadi sangat membuatku kaget. Aku benar-benar tidak menyangkanya, tapi hatiku terasa begitu hangat.
Kami turun dari bianglala, dan Devan masih terlihat sangat canggung. Aku berusaha menyairkan suasana—tidak ingin membuatnya merasa bersalah. "Beli es krim chocolate yuk, Devan!"
Wajahnya yang canggung berubah, dan menggantinya dengan anggukan antusias. Aku menggandeng tangannya, menghampiri kedai es krim terdekat, lalu memesan es krim chocolate untuk kami berdua.
Setelah itu, kami menaiki banyak wahana lainnya. Kami bermain dari pagi hingga sore hari. Walau melelahkan, jujur ini sangat menyenangkan. Karena kami lelah, akhirnya kami istirahat di bangku depan danau di taman bermain itu.
"3 hari lagi kamu pergi, Dhira," ucap Devan sambil menunduk. Aku mendengar kesedihan di intonasinya berbicara.
"Aku minta ma—."
"Aku bilang jangan minta maaf," ucapnya memotongku, lalu dia melanjutkan, "Sudah lama sekali, Dhira, semenjak aku mengenalmu." Dia tersenyum. "Dulu kamu perempuan paling cuek yang aku kenal, tapi saat itu aku belum tahu penyebabnya, dan kamu berhasil menarik perhatianku, Dhira. Berkali-kali aku kesal karena kamu lebih dekat dengan Rendi daripadaku, tapi aku ga menyangka bisa mengenalmu seperti sekarang. Terimakasih karena tidak pernah berubah, Dhira. Maaf belum bisa kasih yang terbaik buat kamu. Aku ga tahu akan secepat ini."
Aku tersenyum karena terharu, lalu mengusap rambut Devan lembut. "Aku yang harusnya berterimakasih padamu," ucapku pelan sekali. Aku tidak peduli dia mendengarnya atau tidak.
Karena langit sudah mulai petang, aku dan Devan memutuskan untuk pulang. Dia mengantarku sampai apart. "Kamu pasti sibuk beres-beres ya?" tanyanya saat sudah sampai depan pintu apartku. Aku mengangguk. "Boleh aku bantu?"
"Kamu ga capek?"
Dia menggeleng. Jika sudah begini, aku tidak bisa menolaknya lagi. Aku membiarkannya masuk, dan mengunci pintuku. Apartku bukan apart yang besar, hanya terdiri dari satu kamar, kamar mandi, dapur, dan ruang TV—tapi ini sudah lebih dari cukup untuk diriku sendiri.
Kami mulai membereskan barang-barangku. Aku membereskan pakaian, sedangkan Devan membereskan buku-bukuku. Pakaian dan buku kami masukan di koper yang sama, tetapi di bagian yang berbeda. Tidak terlalu repot, karena barangku tidak termasuk banyak. Ketika kurasa sudah cukup rapih, aku pamit kepada Devan untuk mandi.
"Aku mandi dulu ya, Devan. Nyalain aja TVnya kalau bosen," ucapku. Aku bergegas masuk kamar mandi sambil membawa pakaian gantiku.
Hari ini beda. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Aku sangat mencintainya—aku tahu itu. Tapi sejujurnya, sampai saat ini, berharap itu masih sulit sekali. Bisakah aku berharap agar aku bisa selamanya bersamanya?
Aku keluar kamar mandi, melihat Devan yang sudah tertidur pulas di sofa ruang TV dengan tangan dijadikan sebagai bantal. Pasti dia sangat kelelahan. Aku langsung mengambil selimut dan juga bantal di kamarku. Aku juga tidak lupa mengabari Mamahnya Devan bahwa Devan tertidur di ruang TVku, dan Mamahnya Devan tidak menjadikan itu masalah.
Aku mengangkat kepalanya dengan pelan agar tidak terbangun, menaruh bantal di bawahnya, dan menaruh kepalanya lagi. Aku juga merentangkan selimut untuknya agar tidak kedinginan.
Aku duduk di lantai dekat sofa. Mengamati setiap inchi wajahnya. Menyingkirkan poni yang menutupi, dan mengelus lembut pipinya. Aku melihat bibirnya, lalu juga mengusapnya dengan lembut. Tiba-tiba aku teringat kejadian di bianglala. Aku memegang bibirku, Rasanya manis dan lembut. Aku menampar wajahku—berusaha untuk sadar.
Aku mencium pipinya pelan dan berkata, "Selamat tidur, Pangeran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomanceNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...