prolog

39 5 6
                                    

••
Sudah kugulung lipatan kenangan itu sebagai prasasti, lalu kumasukkannya ke dalam laci-laci ingatanku.
••

05.00

Aku merenggangkan diriku—mengulet. Ini masih cukup pagi. Aku menoleh ke samping, mengecup pelan dahi seseorang yang masih tertidur pulas di sampingku. "Sudah pagi, Sayang," ucapku padanya yang masih enggan untuk bangun.

Aku beranjak dari kasur, berjalan melewati lorong rumah. Aku pergi ke kamar anak sulungku terlebih dahulu, membuka pintu kamarnya perlahan, dan ternyata dia juga masih tertidur. Aku mendekatinya,  mengecup pipinya pelan,menatapnya lekat—memberinya tatapan kasih sayang, lalu pergi keluar kamar lagi.

Saat berjalan di lorong menuju dapur, aku memperhatikan setiap foto dan lukisan yang terpajang anggun disana—membenarkan dan membersihkannya agar terlihat lebih rapih.

Terlihat sangat manis.

Aku tersenyum kecil—tak menyangka sudah banyak sekali yang aku lalui sampai saat ini. Aku selalu berterimakasih pada diriku karena sudah bisa melewatinya, menyelesaikannya, dan melawan diriku sendiri.

Kata pria itu benar. Harapan justru malah bisa menyembuhkan penyakitku, dan memaafkan bisa jadi, menjadi obat terbaik.

Sejak kecil, aku tak pernah bermimpi untuk punya keluarga yang penuh kasih sayang. Tapi apa? Sekarang mimpi yang tidak bisa disebut mimpi itu bahkan sudah menjadi kanyataan.

Setelah puas memandangi foto dan lukisan itu, aku berjalan menuju dapur. Memakai celemek kesayanganku, lalu mengambil peralatan masakku di laci.

Seperti biasa, aku akan memasak sarapan untuk pagi ini. Sambil memasak aku terus-terusan memikirkan kenangan di masa lalu. Kenangan yang tak pernah absen dari pikiranku.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang