SPESIAL RAMADAN, II.

455 32 22
                                    

Tidak terasa puasa hari ini sudah berjalan sepertiga hari, jam sudah menunjuk jam empat, tersisa dua jam lagi akan buka puasa. Sebelum Alee pulang dari kantor, sebaiknya aku masak untuk buka puasa nanti. Kalau nanti ada Alee, ia akan mengangguku dan akan bertingkah manja, bahkan manjanya saingan dengan manjanya Bimaa. Mumpung Bulan dan Bimaa pun masih tidur, membuatku bisa berkonsentrasi.

Aku tidak bisa masak makanan mahal seperti di restoran tempat biasa keluarga Alee makan. Aku hanya bisa masak makanan sederhana pada umumnya karena memang aku lahir dari keluarga sederhana bukan keluarga kaya seperti Alee. Jujur saja sampai saat ini aku masih merasa mimpi dapat berdampingan dengan laki-laki kaya seperti Alee. Mungkin jika sejak awal aku tau Alee terlahir dari keluarga kaya, aku akan menjauh darinya karena aku minder. Berteman dengan Dara yang sudah kaya saja aku minder, ditambah aku berdampingan dengan Alee.

Hari ini aku akan masak sayur sop iga, kesukaan Alee dan Bulan. Kalau Bimaa ia lebih suka ikan daripada daging, sama seperti aku. Tetapi hari ini aku tidak masak ikan, karena sudah ada sayur sop iga, nanti akan mubazir dan sayang. Aku mengambil bahan-bahannya di dalam kulkas. Mulai dari mencucinya, memotong bahan-bahannya, seperti kol, wortel, daun bawang seledri, kentang dan juga tulang iga. Aku akui kalau masakanku tidak seeenak masakan Umak atau Bunda, tapi setidaknya aku sudah berusaha menjadi ibu dan istri yang baik dengan menyiapkan masakan makanan untuk suami dan anak-anakku. Untung saja Alee, Bulan atau Bimaa tidak pernah menuntut untuk masakan mewah, mereka pun sama sepertiku lebih suka masakan sederhana. Aku sungguh beruntung dapat hidup bersama mereka.

Sembari menunggu sayur sop iga dan nasi masak, aku menyiapkan adonan perkedel sesuai permintaan Alee, Bulan dan Bimaa yang sangat menyukai perkedel. Aku juga sudah menyiapkan buah-buah dan agar-agar untuk nanti dibuatkan sop buah agar Bulan dan Bimaa selalu semangat menjalankan puasa.

Setiap bulan puasa, lebih tepatnya sebelum puasa aku sudah menyiapkan bahan-bahan untuk puasa, semua lengkap, tidak boleh ada yang tertinggal. Selama puasa pun Alee selalu buka puasa bersamaku. Kalaupun ada acara buka puasa diluar, Alee selalu mengajakku. Ia benar-benar tidak ingin kehilangan kepercayaanku. Alee pun selalu mengatakan ada kebanggaan tersendiri kalau aku mendampinginya bertemu dengan rekan-rekan bisnisnya diluar. Seharusnya aku yang bangga menjadi pendampingnya, Alee memiliki segalanya, sedangkan aku memiliki segalanya karena dirinya.

Aiihhh... kalau puasa boleh kangen nggak sih?

"Bia..."

Aku menoleh, mendapati Bulan tengah menggandeng Bimaa yang sedang menangis. Terlalu asyik memikirkan Alee sampai aku tidak mendengar anakku menangis. Aku mencuci tanganku lalu mengangkat Bimaa kedalam gendonganku.

"Kenapa, Nak? Kok nangis?"

Bimaa menggeleng kepala, ia tidak menjawab, melainkan ia menyembunyikan wajahnya dibalik leherku. Aku membawa Bulan dan Bimaa duduk di kursi makan.

"Bantuin Bia siapin makanan buka puasa aja yuk?"

Bimaa mengangkat kepala, menatapku dengan mata yang masih berair.

"Boleh Bia?"

"Boleh dong, kan buat Bimaa sama Bulan makananya."

"Yuk kak."

"Yuk."

Aku membiarkan Bulan dan Bimaa mengaduk-aduk adonan perkedel yang aku pisahkan untuk menjadi mainan mereka, tujuannya agar tangis Bimaa reda. Sembari membiarkan mereka bermain dengan adonan, aku mematikan nasi yang sudah matang.

Aku melihat jam sudah menunjukkan jam 5. Itu menandakan Alee akan segera sampai rumah. Dapat aku pastikan kalau Alee akan kehilangan banyak energi karena seharian ia tidak merokok. Sebenarnya pun Alee sudah mengurangi rokoknya sejak Bulan lahir. Entah dapat hidayah darimana Alee mengurangi rokoknya, katanya...

Kembali Pulang [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang