SPESIAL RAMADAN, VIII.

452 27 21
                                    

Dua hari lalu Alee sakit karena alergi nanas, dari alerginya membuat tubuhnya timbul bintik-bintik merah dan itu membuatnya merasa kepanasan. Karena Alee sakit membuatku harus membatalkan acaraku kemarin, untung saja Dara juga berhalangan hadir karena Angga juga ada urusan yang tidak dapat ditinggalkan.

Hari ini kondisi Alee sudah lebih baik dan Alee juga sudah mengijinkan aku untuk ikut gabung dengan Dara, Sona dan Nukha untuk menyiapkan acara buka puasa bersama, sekaligus merayakan hari jadi persahabatan kami yang sudah 22tahun. Amazing! Aku tidak menyangka, mereka masih mempertahankan aku diantara persahabatan kami.

Memang benar, diantara persahabatan pasti memiliki karakter yang berbeda. Mulai dari aku yang bisa dikatakan pendiam, Dara yang lembut, Sona yang perhatian dan Nukha yang tegas. Kami pun memiliki kekurangan yang terkadang membuat persahabatan kami berdebat. Aku yang pemendam, Dara yang mudah percaya pada orang lain, Sona yang selalu tak enak hati dan Nukha yang pemalas.

Bicara tentang kehidupan rumah tangga kami, terkadang aku ingin seperti mereka. Aku ingin seperti Dara yang selalu bersikap lembut pada Angga, tidak seperti aku yang canggung pada Alee. Aku juga ingin seperti Sona yang selalu memberikan perhatiannya pada Eki, tidak seperti aku yang merasa malu memberikan perhatianku pada Alee. Dan terkadang ingin seperti Nukha yang selalu bersikap santai pada Damar layaknya teman, tidak seperti aku yang terkadang memperlakukan Alee sangat kaku. Tapi kembali lagi pada diriku sendiri, aku tetaplah Adira. Bagimanapun aku, Alee tetap menerimaku sebagai istrinya. Alee tidak menuntutku seperti Dara atau Sona ataupun Nukha. Alee hanya ingin aku menjadi diriku sendiri, sebagai Adira, gadis yang ia cintai sejak 21tahun lalu.



Cup!



"Ish apaan sih!" Kesalku mendorong bahu Alee.

"Bengong, senyum-senyum, pasti mikir jorok." Godanya dengan mata menatapku lembut.

"Nggak." Elakku karena memang aku tidak mikir jorok. "Jadi mau mandi nggak? Aku mau siap-siap kerumah Nukha nih." Tanyaku pada Alee yang sudah menggunakan handuk.

"Iya jadilah, gue udah pake handuk gini."

"Yaudah aku siapin air hangatnya dulu."

Aku turun dari atas ranjang lalu masuk kedalam kamar mandi. Alee pun ikut dibelakangku dan mengunci pintu kamar mandi. Aku membalik badanku dengan menatapnya kesal.

"Aku nggak ikut mandi, Alee!"

"Iya, tapi mandiin aku."

"Nggak! Gilak nih orang!" Pekikku.

Alee menarik pinggangku, mendorong tubuhku pada dinding, dengan tangannya menahan kepala belakangku agar tidak terbentur dinding.

"Sikatin gigi aku." Titahnya dengan melirik sikat gigi dan pasta giginya.

"Kamu bukan Bimaa yang harus disikatin, Alee!" Kesalku.

Alasan aku tidak suka Alee sakit karena ia akan bersikap layaknya anak kecil, bahkan manjanya melebihi Bimaa. Alee tidak ingin di tinggal sendiri, kepalanya harus di usap, tangannya harus di genggam, sungguh menyebalkan!

"Yaudah kalo nggak mau juga nggak apa-apa. Kita disini terus sampe kamu sikatin gigi aku. Biar aja anak kamu nanti nyariin kamu sampe nangis-nangis. Terus acara buka puasa kamu sama temen-temen kamu juga nggak jadi. Yang rugi kan kamu, bukan aku. Aku sih disini berjam-jam sampe berhari-hari juga nggak masalah, asal sama kamu."

Alee berucap sangat enteng tanpa beban sembari menatap dirinya di kaca. Ia meraba dagunya yang mulai tumbuh bulu halus, mengusap rambutnya yang bertambah panjang. Setelahnya ia melirikku dengan lirikan meledek. Ia tau aku akan kalah, Alee sungguh tau kelemahan aku.

Kembali Pulang [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang