SPESIAL RAMADAN, VI.

406 26 15
                                    

Hari ini jadwalnya buka puasa di rumah Bunda. Aku, Bulan dan Bimaa sudah sejak pagi pergi ke rumah Bunda dan saat ini aku sedang belanja dengan Bunda dan Aleesa. Anak-anak kami tinggal dirumah Bunda dengan baby sister Aleesa. Hari ini bukan hanya buka puasa bersama dengan Aleesa, tetapi juga dengan keluarga Bunda yang lainnya. Ada Ibu yang sudah tinggal di Malaysia bersama Iqbhar dan Libra juga akan datang karena katanya tadi pagi mereka sudah berangkat, kemungkinan nanti siang mereka sudah sampai dirumah Bunda. Ada juga Tante Hana, adik Bunda dan Ibu, yang hari ini katanya ikut buka puasa bersama. Jujur saja, kalau bukan karena aku menghargai Bunda, aku tidak ingin ikut buka puasa bersama Tante Hana.

Aku bukan tidak menyukainya, hanya saja aku tidak menyukai ucapannya yang sering sekali menyakiti hati orang lain, seperti aku sendiri selalu menjadi bahan omongan atau sindirannya. Libra saja yang menurut aku sudah sempurna masih saja di kritik, bahkan suami Aleesa---Gery, yang sudah mendapat pangkat jendral saja masih di kritik. Aku sendiri sudah biasa di sindirnya, tetapi aku semakin tidak menyukainya ketika ia mengatakan Bulan bukan anak yang baik hanya karena anak gadisku pendiam. Memangnya salah jika anak gadisku pendiam? Aiihhh.... kalau aku tidak ingat ucapan Umak dan Ayah, untuk selalu sopan pada orang tua, sudah aku maki dia!

"Ini apa aja yang kurang, Bun?" Tanyaku dengan melihat belanjaan kami didalam troly.

"Apa lagi ya? Kalian mau apa?" Bingung Bunda dengan melihat sekeliling bahan masakan.

"Lah Bunda gimana sih? Kalo aku kan Cuma mau recokin aja." Sahut Aleesa.

"Kamu, Ra, mau apa, Nak?" Tanya Bunda padaku.

"Aku sih apa aja yang penting Bulan sama Bimaa kenyang hehehe."

"Mau duit, tapi duit suami lo udah banyak ya, Ra." Ledek Aleesa.

Aku meliriknya kesal. "Duit suami lo juga banyak, Sa!"

"Yaudah jaga baik-baik suami lo, jangan sampe ngelirik suami gue yang udah banyak duit."

"Gilak lo!"

Bunda hanya geleng kepala melihat perdebatan kecil aku dan Aleesa yang terlihat seperti saudara kandung bukan ipar. Aleesa memang bisa aku tempatkan sebagai kakak dan adik sekaligus. Ia bisa menjadi pendengar yang baik untukku dan ia juga bisa menjadi penenangku ketika aku membutuhkannya.


"Bahan opor, udah. Bahan rendang, udah. Sayur-sayuran udah. Buah-buahan juga usah. Ikan juga udah. Kayaknya udah semua deh. Udah aja yuk, Bunda capek nih."

"Yaudah bayar yuk."

Kami masuk kedalam barisan kasir yang sepi hanya ada satu atau dua orang disetiap kasir. Aku mengeluarkan dompetku dari dalam jaket hoodi milik Alee yang sengaja hari ini aku pakai untuk melepas rasa rinduku setelah seminggu lalu kami bertengkar kecil. Aku dan Alee menjadi mode diam selama dua hari sejak pulang dari rumah Umak. Seharusnya pulang dari rumah Umak, kami akan buka puasa dirumah Bunda, tetapi Alee membatalkannya dengan alasan ia banyak kerjaan yang harus dikerjakan. Jadilah hari ini kami buka puasa dirumah Bunda.

"Aku aja yang bayar, Bun. Alee udah kasih uangnya ke aku." Cegahku saat Bunda akan menyodorkan kartunya pada kasir.

"Tau nih, Bunda. Biar istrinya Tuan Muda Alee Arseno aja yang bayar." Lagi-lagi Aleesa meledekku.

"Bener Alee udah kasih uangnya, bukan uang kamu kan, Ra?" Yakinkan Bunda. Bunda selalu mengatakan tidak ingin menggunakan uangku jika belanja. Katanya biarkan uangku disimpan saja untuk keperluanku saja. Tetapi ketika aku bilang pakai uang Alee, Bunda akan menerimanya.

"Iya Bun. Kalo nggak pertanya tanya aja sama anak Bunda."

"Yaudah Bunda percaya."

Kembali Pulang [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang