Bagian 7 - Pacar?

1.4K 120 1
                                    

Sebelum baca, klik gambar bintangnya. Thanks for read this novel v:

{°°°}

"Jadi gue harus gimana, To?"tanya gue pada Entog.

Bisa ditebak gue tengah melalukan konsultasi dengan Entog masalah Pak Davin. Bukan kenapa-kenapa tapi gue takut aja kalau tiba-tiba Pak Davin ngomong sama ibu kalau dia dosen gue. Ibu pasti bertanya-tanya dan nanti dia marah sama gue. AHH!! KENAPA SIH DUNIA INI TERASA SEMPIT??!!

"Lo bantu gue manggung lusa,"

"IYA, MASALAH ITU BERES!"

"Oke. Berarti lo harus menghadap sama dosen lo dan menyapanya. Hai, bapak, jangan bilang kalau anda dosen saya, ya. Gitu."

Gue mengangguk dengan perlahan. Memang usul dari Entog ini sangat bagus. Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat gue sedikit ragu untuk melaksanakannya.

"Gue malu sama istrinya."ujar gue setengah berbisik. Ya, dapat dipastikan kalau sepasang bride maid dari pihak Bang I itu pasti suami istri. Dan karena itu Pak Davin, berarti yang ceweknya adalah istri Pak Davin. Simple, kan?

Entog lalu membuang nafas lemas. Gue tahu, gue selalu ngerepotin dia.

"Pokoknya gue harus ngobrol sama dosen itu dan ngasih tahu dia kalau anggap aja gue bukan mahasiswanya dan jangan kasih tahu Bang I kalau gue kuliah karena dia ember tapi bukan berarti gue bebas dari pertanyaan ibu tentang pacar juga, sih karena gue gak tahu siapa yang bakal gue tunjukin ke ibu sebagai pacar gue serta.."

"Itu dosen lo di belakang!"bisik Entog.

Tuh, kan. Bercanda nya kebangetan, nih.

Gue lalu membalikkan tubuh gue dengan tatapan malas. Gak perduli kalau misalnya ada Pak Davin di sana dan dia nguping pembicaraan gue sama Entog. Ketika tubuh gue sepenuhnya menghadap ke arah berlawanan, gue bisa melihat sesosok pria berjas dengan baju dalam kemeja berwarna biru laut. Maaf, kayaknya gue batalin niatan 'gak perduli' gue.

"Kalau gitu, gue sekalian cabut. Uang menunggu. Selamat menikmati!"bisik Entog tepat ke telinga gue.

Dengan tanpa mendengar persetujuan gue, Entog langsung ngacir. Jalannya cepat dan besar sehingga dalam hitungan detik dia udah meninggalkan gue sendirian di sini. Gak, meninggalkan gue bersama Pak Davin.

Gue menampakkan senyuman pada Pak Davin. Dan dia balas dengan lirikkan mata sok cool. Tahu mata orang nguap, nah, gak jauh dari gitu lah. Makanya itu kenapa gue sebut 'sok'.

"Siang, pak."ujar gue.

Dan dia masih berdiri tegak di hadapan gue tanpa membalas ucapan gue sedikit pun. Kalau kayak gini, ada dua kemungkinan. Pertama, Pak Davin gak bisa ngomong karena bibirnya sariawan, kekurangan gibah. Kedua, dia lagi menutup mulutnya rapat-rapat karena belum gosok gigi sejak pagi. Tapi, gue gak boleh suudzon. Kali aja kedua perkiraan itu benar.

"Yang tadi istri bapak?"

"Yang tadi pacar kamu?"

Pertanyaan itu keluar bersamaan dari mulut kami. Kenapa bisa begini, sih? Gak bisa gitu si bapak kompromian dulu sama gue kalau mau ngomong. Gue tuh paling gak suka kalau ngomong barengan gini, terutama sama orang yang gue segani.

Ingatkah kalian waktu kecil, kalau ngomong bareng atau sama maka kalian akan bilang 'aku duluan, bawa, kunci, kuncinya buang'? Hal itu seolah kalian tengah memperebutkan kalimat yang kalian gunakan secara bersamaan. Jujur aja, dulu gue selalu yang paling pertama bilang gitu.

Tapi, sekarang gak bisa. Masa iya gue harus teriak 'aku duluan, bawa, kunci, kuncinya buang' di hadapan Pak Davin. Emang dia bakalan tahu hal kayak gitu.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang