Hai, hai. Udah sampai sini aja, pembaca yang baik nan charming haha. Tetap setia, ya! Karena hanya setia yang memperkukuh kita. Haha.
Beri tanggapan dong! Semoga kalian suka eps kali ini, selamat membaca o.o
{Tau gak? Buat Senin depan, aku gak akan publish ToT. Aku mau mengumpulkan para pembaca dulu, maaf, ya. Untuk pembaca setia, terimakasih banyak. Untuk yang baru datang, terimakasih juga.
Ayo, share dan vote ceritaku agar aku semakin semangat update. Biar jadwalnya makin padat. Skuy!}Gue berjalan beriringan dengan Pak Davin. Langkah kami yang nampak sama membuat beberapa orang menatap heran. Mereka itu pacaran atau sudah menikah? Itulah kalimat yang sebenarnya ingin gue hapus dari kamus saat ini. Namun sayangnya, gue tidak mempunyai hak dan itu gara-gara orang tamvan ini.
Setelah pamit ke Adinda dan mamanya, gue langsung menghujani Pak Davin dengan berbagai pertanyaan. Tentunya seputar ucapannya yang membahana itu. Sebel, deh, gue. Untung aja gue tidak melakukan sleding pada beliau. Kalau gak, bisa parah.
"Sena,"ujar Pak Davin setelah lama tidak membuka mulut tajamnya itu.
Serah, dah, pak, ah! Males banget kalau gue harus jawab cepat. Emang ini ujian?
"Sebelum ke ruangan ibunya temen kamu, sebenarnya saya ngambil resep dulu. Antar saya ke apotik depan, sekalian saja."ujarnya.
Gue hanya memonyongkan mulut gue. Demi bulu keteknya keledai pasar, gue gak perduli. Lagi pula, gue masih banyak kerjaan. Gak mau kalau misalnya harus banget bantu beliau. Bapak aja cuekin saya, kenapa saya harus perhatian ke bapak? Anda ini bukan pengumuman penemuan dompet yang harus diperhatikan.
Sebuah suara tawa lembut terdengar jelas di telinga gue. Dengan segera gue menoleh ke arah Pak Davin berada. Pundaknya yang menutupi sebagian wajahnya membuat gue mengangkat sebelah alis gue. Tunggu, sebenarnya gue yang pendek atau dia yang tingginya tidak wajar, sih? Kepala gue hanya sampai ke bahunya, tolong! Gue jadi kesulitan melihat senyumannya.
Tunggu, astagfirullah. Sadar Sena. Beliau bukan Song Joong ki. Ngapain lihat senyumnya?
Sebuah etalase yang menjadi wadah dari obat-obatan itu nampak bening. Bahkan, penataan obat di sana begitu rapi. Enak dipandang. Lantainya bersih pula. Bahkan, saat gue menginjakkan kaki di apotik rumah sakit itu, gue merasa tengah menginjak lautan bunga. Harum sekali teman-teman.
Gue tahu, gue salah ketika kaki gue memaksa untuk berjalan mengikuti Pak Davin. Raga gue memang terus menarik menuju arah lain. Namun, kali ini kaki gue lagi bandel. Dia jadi menolak perintah sehingga melakukan apa yang dianggapnya bucin.
Pak Davin menatap gue sekilas sebelum berhadapan dengan TTK. Dia tersenyum dan menepukkan tangannya ke pundak gue. Idih idih! Maksudnya apa, sih? Gue benar-benar tidak membutuhkan gerakan penyemangat itu. Gue lagi semangat malah. Semangat untuk menginjak sepatu mengilap itu.
Pak Davin lalu memberikan resep pada TTK(Tenaga Teknis Kefarmasian). Tak lama obat datang dan beliau membayar. Dengan sigap, TTK itu mengambil kembalian dan memberikan senyuman ramah pada Pak Davin. Barulah, setelah menata uangnya di dompet, Pak Davin menghampiri gue.
"Hey, tumben ketemu di sini."ujarnya dengan wajah berseri.
Hah, apaan, sih? Amnesia, ya? Astagfirullah, ini orang pelupa apa gimana? Gue tidak dianggap sama sekali. Sakit hati ini. Lo menyesal, kan, kaki?! Makanya ikutin firasat. Kalau denger itu pakai rambut jadi faham!
KAMU SEDANG MEMBACA
Abah Dosen [COMPLETED] | TAMAT
Romansa(Sudah tamat, kayak hubungan lu ama dia v:) Coba buka ratingnya! BUKA JUGA NOVEL AKU YANG BARU DI AKUNKU ^3^ SINOPSIS : Gue, tidak pernah mengalami cinta monyet. Karena gue tahu, gue masih berstatus MANUSIA. Tapi kalau cinta manusia, ya, gue juga t...