Bagian 37-Kehidupan Normal

923 78 0
                                    

Aku sulit membuka mulutku. Alasannya hanya satu. Karena lakban menempel di bibirku.

IG : LULU_RIZKISAL.ICE
Happy reading guys
{buat besok/Rabu}

Gue memasukkan semua barang milik gue pada sebuah tas besar. Berhubung gue belum pernah ke luar kota apalagi ke luar negeri, gue tidak mempunyai koper. Alhasil, tas besar gue yang sudah pudar warnanya ini harus menanggung semua barang. Memang, sih, barang gue tidak terlalu banyak. Tapi tetap saja, tas gue ini masih terlalu muda untuk dilimpahi beban.

Gue langsung keluar kamar sekitar pukul empat. Sesudah sholat ashar tadi gue langsung berbenah karena ingin segera pulang ke rumah. Gue tahu mungkin gue ini lebay. Tapi gue tidak akan kuat kalau terus berada di sini. Apalagi kampus tengah libur. Pekerjaan gue tidak memerlukan setiap jam dan sehari untuk dilakukan. Kalau gue diam di sini dan mendengar obrolan Pak Davin dengan Divana lope lope, entah bagaimana nasib telinga gue.

Sabar, tel. Lo harus kuat. Walaupun mungkin gendang telinga lo udah geli mendengar percakapan mereka, tetaplah kuat. Gue takut kalau lo gak kuat, tel, akan terjadi banjir larva di lubang lo. Yang malunya gue entar.

"Bu, pak,"panggil gue pada kedua orang yang sangat ramah itu. "Saya mau pulang kampung."

Pak Aka dan Bu Ika langsung terkejut. Tubuh mereka tiba-tiba berguncang hebat. Dan hal itu berhasil membuat gue terkejut pula. Gerakan mereka yang tiba-tiba menjadikan pinggang gue hampir goyang inul.

"Kenapa tiba-tiba? Kapan kamu ke sini lagi?"tanya Pak Aka yang wajahnya mulai khawatir.

Gue lalu memberikan senyuman.
"Saya gak tahu mau kembali lagi atau tidak, pak."

"Sena, kamu gak usah bayar uang kos. Udah, di sini saja."sambung Bu Ika. Lagi-lagi gue hanya membalasnya dengan senyuman.

"Maaf, bu. Bukan masalah uang. Tapi saya memang sudah kangen dengan keluarga di rumah. Mumpung ada waktu."balas gue.

Bu Ika dan Pak Aka lalu memulai drama. Mereka menahan gue selama kurang lebih tiga puluh menit. Gue salut dengan mereka, sumpah. Mereka tahan berdiri selama itu sambil mengeluarkan banyak kata-kata. Haduh, kenapa jadi susah begini?

"Kami sudah menganggap kamu anak perempuan kami sendiri. Kami membutuhkan anak perempuan."ujar Bu Ika.

Gue lalu menurunkan pandangan gue. Hati gue tiba-tiba merasa bersalah sekarang. Seolah gue ini anak laknat yang menelantarkan orang tua sendiri. Tapi, tunggu. Mereka bukan orang tua gue. Mereka orang tua Pak Davin. Dan gue tidak mau saudaraan dengan Pak Davin.

"Nanti Sena akan telepon Bu Ika dan Pak Aka, kok. Saya pamit."ujar gue.

GREPP!!
Entah ini tiba-tiba yang keberapa kali, tapi tiba-tiba Bu Ika memeluk gue. Pelukannya memang terasa sangat ikhlas dan penuh kasih sayang. Jujur, gue belum pernah dipeluk oleh ibu dalam keadaan biasa seperti ini. Dan itu membuat gue langsung menutup mata dan memasang kerucut jingga di leher gue. Jangan nangis!

"Jangan lupa ke sini lagi, ya. Kalau kamu butuh bilang sama ibu. Telepon ibu dan bapak, ya. Biar ibu dan bapak antar."

"Oh, engga usah, bu. Sena sudah dijemput sahabat Sena, kok. Dia sedang ada urusan di daerah tempat tinggal Sena. Jadi sekalian."ujar gue sambil membalas pelukan Bu Ika.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang