Bagian 20-Sekongkol Kayaknya

1.1K 85 1
                                    

Hai semua! Terimakasih sudah berkunjung sampai sini. Baca terus kelanjutan ceritanya, ya. Jangan lupa vote dan beri comment positif.
Selama Membaca Minna!
{°°°}

Gue meregangkan tubuh gue setelah membuka mukena. Kain itu gue lipat hingga nampak rapi lalu disimpan di atas ranjang. Kerudung yang menggantung segera gue pakai. Walaupun masih pagi, tapi gue harus segera bersiap-siap. Selain hari ini hari Senin, gue kerja, gue juga masuk kelas pagi. Tapi, bukan itu yang membuat gue harus berangkat lebih awal.

Hujan mengguyur bumi sejak subuh tadi, seolah bersedih karena bulan tak datang menemani. Jyah.

Setelah menepukkan sedikit bedak, gue lalu menjinjing tas gue. Gue buka pintu dan memadamkan lampu, karena memadamkan rasa cintaku padanya itu sulit. Dengan hembusan nafas lemas, gue menutup pintu kamar. Hah, jalanan pasti macet. Belum lagi banjir. Kalau gue berangkat pada pukul enam pagi dengan bis, pasti akan terlambat.

Karenanya gue berniat untuk tidak sarapan. Perut gue kuat, kok. Gue sanggup untuk tidak makan seharian penuh. Bukan karena gue bekas dukun, atau mantan paranormal, bukan. Tapi karena gue terbiasa menghemat sebagai anak kos.

Kaki gue mulai melangkah meninggalkan rumah. Mata gue menatap lagi yang sendu dan kelabu. Berat sepertinya jika menjadi awan. Harus menampung air, lalu menumpahkannya ke bumi. Sedangkan manusia hanya menyia-nyiakan keberadaannya. Kalau gue berniat menemaninya, mungkin akan dianggap gila. Maka dari itu gue hanya bisa berdoa, semoga kedatangan awan ini tidak mengganggu hari gue yang harusnya menjadi luar biasa.

"Mau kemana?"

Terdengar suara seorang manusia yang berhasil menghentikan langkah gue. Karenanya gue langsung membalikkan badan, menatap siapa pemilik suara familiar itu. Dan seharusnya gue sudah tahu, kalau gue mendengar suara itu, gue akan berada di ujung peledakan emosi. Namun, gue tidak bisa begitu saja membalikkan senyum ini. Beliau terlalu hebat untuk gue acuhkan. Dan terlalu tegas untuk gue tentang.

Ini kenapa gue jadi puitis gini, sih? Gara-gara lo awan! Gak jadi gue nemenin lo! Balik lagi ke bahasa cuplas-ceplos gue aja.

"Kenapa, pak?"tanya gue dengan senyuman yang begitu dipaksakan.

Iya, yang memberikan kuis dadakan di pagi hari yang tidak bersemangat ini adalah Pak Davin. Siapa lagi, coba kalau bukan dia? Cha Eun Woo? Choi Siwon? Hah, kalian pikir hidup gue rentetan khayalan semata?

Anehnya, Pak Davin gak menjawab sama sekali. Ia malah melangkahkan kakinya mendekati gue. Dengan gerak kaki bak model papan tulis, dia terus menghampiri gue. Walau tangan kanannya masih asyik mengancingkan kemeja lengan kirinya, namun pandangannya tetap lurus ke depan. Tak dapat dipungkiri kalau senyuman gue begitu merekah kala menatap itu. Gimana enggak? Orang kemejanya warna biru laut pemberian gue.

Kayaknya apek sudah menahun di baju itu.

"Kamu ditanya malah nanya balik. Kamu mau kemana? Masih pagi, masa mau ngampus?"balas Pak Davin.

Gue hanya bisa tersenyum ceria dan mengangkat bahu. Ingin sekali gue hujat masalah kemeja sekarang. Tapi sayangnya dia dosen gue. Kalau disangka gak ada akhlak, gimana entar?

"Saya naik bis, pak. Kalau berangkatnya agak siang, nanti telat. Apalagi kalau gak salah, hari ini bapak masuk kelas saya, ya? Kalau telat, hukumannya parah, kan?"tanya gue yang hanya dibalas anggukan kepala dari Pak Davin.

"Ya, udah, pak. Saya mau pergi dulu."

Tangan gue langsung terbuka ke hadapan Pak Davin. Bukan berniat minta bekel atau ngajak main alatunadepiasi, tapi gue hendak salim. Usut punya pecut, gue ingin meminta ijin untuk menuntut ilmu. Gue melakukan itu bukan semata-mata karena latihan jadi cucunya, bukan. Tapi karena gue sudah terbiasa untuk salim pada orang TUA kala pergi ke mana pun. TUA, hehe.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang