Bagian 19-Sayang dan Honey

1.2K 107 2
                                    

Hai semua! Terimakasih sudah berkunjung sampai sini. Baca terus kelanjutan ceritanya, ya. Jangan lupa vote dan beri comment positif.
Selama Membaca Minna!
{°°°}

Sebuah rumah sederhana yang menyimpan banyak kenangan sudah ada di hadapan gue saat ini. Jika melihat rumah itu, sekilas terbesit sebuah pikiran di dalam kepala gue. Betapa lamanya gue untuk meminta waktu agar bisa membelikan rumah yang lebih baik. Rumah ini terlalu sederhana untuk mereka yang luar biasa, yang menafkahi gue, mengurus gue, dan bahkan menyayangi sepenuh hati.

Pak Davin membuka pintu mobil yang ada di samping gue. Lagi-lagi, dia memberikan senyuman manis itu. Entah mengapa, mungkin karena gue tengah melamun, gue membalas senyuman pria itu. Setelahnya, gue membuka langkah keluar dari mobil. Tubuh gue berdiri tepat di samping beliau yang tengah menutup pintu mobil. Barulah ketika ia berbalik, gue kembali memberikan senyuman dan berjalan beriringan bersamanya.

Ah, pikiran gue udah gak sabar nonton kelanjutan Boruto yang akan update hari ini kayaknya. Ini mulut senyum mulu!

Ayah gue sudah bersiap menyambut gue. Beliau langsung memanggil ibu ketika melihat batang hidung gue. Ibu menyahut, ayah lalu berjalan menghampiri gue. Dengan spontan Pak Davin mengambil tangan ayah lebih dulu dari gue. Setelah beliau menempelkan keningnya di sana, gue langsung mengambil tangan pria yang begitu gue sayangi itu. Gue lalu melakukan hal yang sama dengan Pak Davin.

Seorang wanita dengan diikuti seorang anak laki-laki menghampiri kami. Ya, mereka ibu dan adik gue. Bahkan, ketika melihat senyumannya gue sudah bisa merasakan kasih sayang. Kaki gue lalu melangkah mendekati ibu. Gue mengambil tangannya dan tersenyum.

"Oh, Nak Davin datang. Maaf merepotkan. Gimana, sehat?" ujar ibu gue.

ARGHH!!! Gue kesal banget, banget, banget. Yang anaknya itu gue, bukan Pak Davin. Tapi kenapa dia yang ditanyai kabar? Apakah mereka lupa kalau gue ini anaknya? Dasar, pria pencuri orang tua. Pesonanya itu terlalu memukau mata ibu sehingga lupa kalau anaknya itu gue.

"Baik, bu. Alhamdulillah. Ibu gimana? Kayaknya ibu kurusan."balas Pak Davin dengan TANPA berhenti tersenyum.

Hah, aneh gue. Bisa aja, ya, dia merayu ibu. Pakai muji beliau kurusan segala. Mungkin dia gak tahu atau pura-pura gak tahu kalau kebanyakan wanita itu paling suka dibilang 'kurusan'. Karenanya gue mau banget mengacungkan jempol berharga gue ini untuk beliau. Hebat, bapak hebat kalau urusan mencuri hati seseorang.

Gak termasuk gue, ya.

"Ayo masuk dulu, minum teh dulu, Nak Davin."ujar ayah. Eh, tunggu. Ini kenapa ayah jadi ikut-ikutan lupa kalau gue itu anaknya. Halo! Ibu, ayah, kalian lupa siapa yang suka ngeributin rumah?

"Oh, saya kira kita akan liburan."balas Pak Davin sopan. Sok sopan.

Kita? Hah!

"Iya. Tapi, kamu pasti lelah, nak. Ayo, istirahat dulu aja."balas ibu.

Pak Davin lalu tersenyum kembali. Kali ini matanya bahkan sempat menyipit. Ia lalu mendengus.

"Gak apa-apa, kok, bu. Kalau berangkat lebih pagi lebih baik. Nanti bisa ngobrol lama. Kan, saya jarang datang berkunjung."

Gue yang seolah menjadi kambing conge ini hanya bisa menarik oksigen dengan paksa. Mata gue terus menatap setiap mulut yang bergerak. Tapi, tiba-tiba mata gue terpacu pada tangan ibu yang mengusap bahu Pak Davin. Tunggu, tunggu bentar. YANG ANAKNYA ITU GUE BUKAN DIA, WOY! Eh, ini mulut gak ada akhlak ngomongin orang tua. Gak ada akhlak, gak ada akhlak.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang