Bagian 23-Flashback

1K 89 0
                                    

Hai semua! Terimakasih sudah berkunjung sampai sini. Baca terus kelanjutan ceritanya, ya. Jangan lupa vote dan beri comment yang mendukung.

Selama Membaca Minna!
{Maaf soal telat waktu itu. Beneran, aku kebablasan buka sosmed jadi kuota menghilang haha. Enjoy}

Gue masih ingat saat kejadian itu terjadi.

{°°°}

Seorang anak berumur sembilan tahun tengah menunduk di tempat dia berada. Saat itu kulitnya lebih gelap dari teman-temannya. Selain itu, tubuhnya terlalu kurus dan tinggi untuk anak seumurannya. Walaupun rambutnya yang hitam legam dan bersinar membuatnya terlihat sangat cantik, namun entahlah. Hinaan masih saja datang.

"Anak kayak kamu mana bisa punya pacar!"ujar seorang anak laki-laki dengan postur tubuh yang bagus dan kulit yang bening.

Karena dirinya sangat terkenal, ia bisa mempengaruhi hampir satu kelas. Alhasil, anak itu terkadang sering diejeknya.

Dekil.

Arang. Bukan anak manusia.

Semua pernah dilontarkan.

Hal itu cukup membuatnya tertekan. Tangan dan kakinya tak tahan untuk melakukan pembalasan. Mulutnya melontarkan kata-kata yang tak patut. Bahkan hatinya dingin. Oleh karena itu, ia mulai untuk meniru kekerasan. Berbagai latihan ia kerahkan untuk bela diri. Walaupun kulitnya semakin lama semakin legam, ia tak perduli. Yang pasti adalah, ia tidak ingin diejek lagi. Telinganya terlalu muda untuk mendengar semua kata-kata buruk seperti ini.

Hingga ia mulai memasuki Sekolah Menengah Pertama. Kala itu, seorang anak laki-laki dari geng Si Penghina datang menemuinya. Ia memberikan sikap yang manis, hendak mengatakan cinta 'monyet' pada anak itu. Dengan lembut, dia menolaknya.

"Aku masih terlalu hitam untuk kamu anggap sebagai pacar."balasnya dengan sopan.

Tahu betapa pedih hati anak lelaki itu, dengan segera ia mengusap pundaknya.

"Masih banyak perempuan putih bersih yang mau sama kamu. Aku masih terlalu jelek."balasnya dengan ringan.

Mungkin awalnya anak itu berpikir kalau dia sudah tidak dihina lagi, dia tidak memerlukan pelajaran bela dirinya. Lambat laun dia mulai jarang latihan. Ia mulai mempunyai teman, berpenampilan rapi, dan menutupi auratnya. Sikapnya sudah percaya diri, bahkan prestasinya begitu baik. Kulitnya yang menjadi pusat masalah, nampak berubah.

Akan tetapi, ketika suatu hari ia berpapasan dengan seorang pria, ia kembali merasakan sakit. Pria yang ternyata teman sekelasnya saat berumur sembilan tahun, yang menghinanya. Pria yang memang cukup terkenal. Pria yang membuatnya terpaksa harus melanjutkan latihan bela dirinya.

"Anak tomboy macam lu, emang ada yang mau?"begitu tanyanya.

Mulai saat itu, ia kembali memukul orang. Ia kembali menggunakan tangannya. Ia kembali berbicara tak karuan. Dan bahkan, ia kembali berhati dingin. Teman-temannya yang setia merayunya, diacuhkan tanpa pikir panjang. Topeng terus ia gunakan saat bersama yang lainnya. Selalu ada singa mengaum yang siap menerkan di balik punggungnya.

Hal itu semakin diperparah saat ia mendengar bahwa sang ayah berlaku kasar pada sang ibu. Mendengar jeritan lemah seorang wanita yang ia cintai. Melihat goresan demi goresan terukir kasar di sana. Bukan tanpa karena sang ayah melakukan itu. Dengan KETIDAKSADARAN, beliau menumpahkan amarahnya pada orang yang seharusnya tidak menerima hantaman itu.

Uang. Itu masalahnya.

Sejak keuangan mulai menurun, sang ibu selalu bertanya. Beliau selalu mengaduh. Bahkan, tak lagi berpenampilan menarik karena tak ada biaya. Dirinya menjadi pasrah, bahkan harus mulai meminjam uang. Semua tahu, itu membuat sang ayah stres. Walau setelah melukai sang istri ia meminta maaf, namun dua anak remaja yang melihat ibunya sakit tak bisa terima.

Anak itu, yang menjadi anak kedua, selalu mengurung diri di kamarnya. Sedangkan sang kakak pergi entah kemana dengan jadwal pulang yang tak teratur. Sang adik terlalu kecil untuk faham, namun bisa merasakan penderitaan. Keluarga itu, mulai hancur saat kepribadian sang ayah berubah. Dan itu sangat berpengaruh pada kehidupan anak ini, yang memang sudah cukup berat.

Ia mulai bertanya, apakah hanya keluargaku saja yang mengalami hal ini? Otak cerdasnya seolah mengajak untuk mencari tahu. Ia meneliti, mengamati, dan mendengar banyak kejadian di dalam rumah tangga orang lain. Didapatlah hasil yang sangat mengerikan.

Sepupunya, pernah berselingkuh. Temannya, menjadi korban dari perceraian. Bibinya harus menderita karena ancaman dari suaminya. Tetangganya harus ribut karena suaminya sudah menikah dengan wanita lain. Bahkan, terkadang ia melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa palsunya ucapan 'sayang' dari sebuah hubungan.

Walaupun ayahnya sudah membaik, tetap saja anak itu masih tidak mudah percaya. Ia masih takut akan kisah rumah tangga. Terkadang, ia menyandarkan punggungnya pada pintu yang ditutup untuk menumpahkan seluruh amarah. Ia bersikap kasar, memukul dan memaki, marah, dan bahkan selalu mengeluarkan sumpah serapah.

Namun, setiap masalah memang ada jalan keluarnya. Ia menatap ke arah cermin yang menampakkan bayangan dirinya. Dilihat wajahnya yang dipeluk sehelai kain. Rambutnya yang berantakan, mulai disembunyikan di dalam kain itu. Ia seperti mempunyai seorang teman yang memeluknya, siap membantu kapan pun dan di mana pun. Itulah alasan, mengapa ia masih memakai hijabnya walau kelakuannya masih tak luput dari masa lalu.

"Dunia ini, palsu. Sena, tidak mau menikah. Sena hanya ingin bersama Cheetah, selamanya. Cinta itu palsu, dan Sena tak mau yang palsu." begitu ujarnya.

{°°°}

Gue memberikan senyuman pada Pak Davin. Seketika beliau terkejut melihat gue yang tiba-tiba melebarkan mulut. Mungkin dia berpikir kalau ada suatu kekosletan atau ada kabel yang tidak benar di dalam otak gue. Tapi, lama kelamaan dia membalas senyuman gue. Wajah gue serasa ditabok jutaan cahaya karena senyuman itu. Sepertinya Pak Davin suka makan bohlam hingga senyumannya selalu bercahaya.

Atau dia ngemil kunang-kunang? Ah, entahlah, yang pasti mulutnya itu seolah tumbler setiap kali melebar.

"Maaf, pak. Saya ngelantur."balas gue. Dengan segera gue menghapus air mata yang mulai mengering.

Gue menarik nafas panjang. Sebenarnya, gue merasa sangat malu saat ini. Tapi ternyata itu hanya SEHARUSNYA. Seharusnya gue merasa malu. Tapi, kenapa saat ini, biar pun gue tengah ingusan dan berlinang air mata di hadapan Pak Davin, tidak ada sedikit pun rasa malu? Hanya satu jawabannya. Gue sudah mulai terbiasa.

Mata gue mulai semakin perih. Seolah tangan gue mempunyai pikirannya sendiri, dia mengucek mata gue. Alhasil, gue tidak melihat apa pun. Namun, tiba-tiba saja sesuatu menarik baju gue. Sebuah sapu tangan melap mata gue dengan lembut. Tak puas melihat mata gue kering, sapu tangan itu lanjut mengusap bekas air mata di pipi gue.

"Eh, dasar. Anak muda jaman sekarang pacaran di supermarket."

"Romantis banget."

Ya, para pengunjung sudah mulai mengeluarkan pendapat mereka. Telinga gue sepertinya sudah mirip trampolin, yang langsung memantulkan omongan-omongan sehingga tidak diserap otak. Kasihan kalau misalnya otak memproses kata-kata itu.

"Mereka sangka kita lagi pacaran, pak."bisik gue. Mata gue yang sembab, hidung gue yang mampet, dan suara gue yang serak-serak tajir ini seolah lawakan bagi Pak Davin. Buktinya, dia tertawa dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sungguh indah, sampai kaki gue siap melayang.

"Memang kita lagi pacaran, kan?"

"Oh, iya, ya. Kita kan- tunggu. Apa? Oh telinga saya lagi di silent kayaknya, pak. Maaf."

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang