Bagian 26-Terbiasa

1K 86 1
                                    

Naik delman ke pasaraya
Duduknya duduk di muka
Muka siapa?

Beri tanggapan dong! Semoga kalian suka eps kali ini, selamat membaca o.o
{°°°}

"Naik."perintah Pak Davin saat gue masih mematung di samping pintu mobil yang tengah ia buka.

Ya, di pagi hari yang cerah ini sudah menjadi kebiasaan bagi gue untuk menunggu perintah 'naik' dari Pak Davin. Semenjak kejadian gue telat masuk kelas, kami jadi berangkat bersama. Tentu, awalnya gue merasa canggung. Tapi setelah sekitar empat minggu dilewati dengan begitu saja, gue mulai terbiasa. Lagi pula, gue ikut memandikan Bobig alias mobil Pak Davin ini. Jadi, tidak ada salahnya kalau gue menikmati hasil kerja gue.

Masalah pekerjaan, lancar, alhamdulillah. Gue bisa menyelesaikan target lebih baik dari sebelum kuliah. Bahkan, gue sering mendapatkan bonus karenanya. Selain itu, gue sering mendapat pesanan untuk manggung di banyak kafe. Bisa dibilang kerjaan menumpuk. Gue tahu, gue sangat lelah karenanya. Namun, setiap kali gue merasa putus asa gue teringat akan perjuangan ibu dan ayah untuk gue dulu. Ya, gue semangat bekerja lagi.

Kana dan Bang I sepertinya masih di Jakarta, entah mengapa. Mungkin mereka tengah berlibur atau bahkan hendak menetap di sana, kami sekeluarga belum tahu pasti. Keberadaan dan kesehatan mereka saja yang kami pantau karena biar bagaimana pun, di mana mereka berada itu hak mereka. Karenanya, gue masih belum bisa bertemu cinta sejati sehidup semati gue, Baby Cheetah. Gue sudah sangat rindu sampai-sampai selalu memimpikannya.

Lho, kalau Baby Cheetah di rumah Kana, bagaimana Sena menyelesaikan target dan manggung ke sana ke mari?

Jawabannya, cukup menyebalkan. Pak Davin. Beliau yang mengantar gue ke mana pun gue mau. Sekalinya mau ganti bensin, nolaknya mentah-mentah. Kita semua pasti tahu jika bapak tampan ini melakukan hal baik maka harus ada imbalan untuk kebaikannya itu. Nah, imbalan ini yang membuat gue serasa pembantu setia beliau. Ya, gue selalu disuruh membeli kemeja untuk beliau gunakan ke mana pun. Dan mungkin, ya, itu sudah menjadi kebiasaan juga, mengingat gue sudah melakukan ini kurang lebih selama satu bulan.

Seperti saat ini. Gue tengah membaca buku sebuah mata kuliah di jok depan samping Pak Davin. Kami masih canggung, benar. Kami hanya bisa terdiam selama perjalanan dan menanyakan atau mengatakan hal yang penting saja. Baik gue maupun Pak Davin saling memahami kalau kami harus fokus pada kegiatan masing-masing.

"Saya mau isi bensin dulu, sebentar."ujarnya. Gue mengangguk dengan pasti.

Mobil dibelokkan ke sebuah SPBU yang antriannya tidak terlalu panjang. Cuma ada dua mobil di depan Bobig. Oleh karenanya, gue gak terlalu memperdulikan hal itu.

"Sen,"

SEN? Gusti, bapak sok akrab sekali sama saya. Lihat saja Abah Dosen Davin. Gue bakal balas sok akrab dengan anda.

"Iya, Dav?"balas gue. Haha, rasain lo sampo.

"Pfft!"

Muncrat! Abah ini memang kalau ketawa gak kira-kira. Biar saya beri tahu, enzim itu semua orang punya. Gak perlu dibagi-bagi kayak gini. Kalau ketawa, ya, ketawa aja. Gak usah sambil sumbang enzim. Memang kalau nahan ketawa kayak gitu bapak kelihatan lebih tampan? Iy- eh, enggak pak!

"Kenapa, pak?"tanya gue saat mobil mulai bergerak karena mobil depan selesai mengisi bensin. Mobil aja diisi, masa hati gue enggak. Jyah.

"Kamu gak sopan panggil guru sendiri dengan nama."ujar beliau.

Di sanalah gue sadar, gue berlebihan. Walau gue seatap dengan Pak Davin, tapi gue gak boleh sampai seperti ini. Astagfirullah, gue kelewatan. Kayaknya harus puter balik, nih.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang