Bagian 5 - Pak Davin 2

1.5K 126 1
                                    

Sebelum baca, klik gambar bintangnya. Thanks for read this novel v:

{°°°}

"Maafin gue To. Gue ada perlu. Gitarnya gue simpen di panggung. Makasih banyak, ya."ujar gue.

"Iya, gak apa-apa, Sen. Kalem aja. Ya udah, gue lanjut manggung, ya."balas Entog dengan santainya. Gue jadi makin merasa bersalah.

Kami mengakhiri obrolan kami. Setelah suara Entog hilang dari telinga gue, gue merasa kesepian. Bagaimana tidak? Gue tengah berdua dengan Pak Davin di mobilnya yang harumnya mirip greentea. Tapi, gue tetap menjaga kesopanan. Gue duduk di bangku belakang walau Pak Davin terus menerus menyuruh gue duduk di depan.

"Kayaknya saya mau ganti profesi aja jadi taksi online."ujar Pak Davin ketika mobil melaju dengan santai.

Gue membuang nafas kesal. Entah mengapa dosen yang satu ini sungguh menguras amarah gue. Bahkan, gue baru satu hari bertemu dengan dia, tapi dia udah menindas gue begini. Aduh, apalagi kalau bertahun-tahun.

"Kalau di depan, saya gak mau, pak. Saya takut ada yang salah faham nantinya."jawab gue seadanya. Pak Davin lalu melirik kaca spion dengan tatapan tajamnya.

"Terserah,"balasnya dingin.

Ih, gue harus gimana nih? Kalau gue gak nurut, gue akan memperbesar masalah gue dengan Pak Davin. Gue juga akan sibuk dengan tugas yang mungkin akan ia berikan tanpa perasaan. Gue bingung. Apa gue pindah aja ke depan kali, ya?

Gue mulai mengangkat kaki gue. Kaki kanan gue melangkah melewati jok depan. Dengan susah payah, gue berusaha berpindah tempat duduk. Pak Davin yang kewalahan sama kelakuan gue cuma bisa mengaduh. Gue terus menerus meminta maaf sampai akhirnya gue bisa berada di jok depan dengan pendaratan yang mulus.

"Kamu ngapain?"tanya Pak Davin dengan tampang marahnya. Cie marah, acie cie.

"Saya pindah ke depan, pak. Kan, kata bapak duduk di jok depan."

"Kenapa gak bilang? Saya, kan, bisa bantu!"

Gue lalu menurunkan pandangan mata gue. Mulut gue sedikit kaku. Takut setiap kali Pak Davin marah berkelanjutan. Ya, walaupun dia baru bersama gue beberapa jam yang lalu, tapi gue udah bisa menebak kalau dia bakal mirip monster ketika marah.

"Maaf, pak."ujar gue tanpa berkutit sedikit pun.

"Maaf lagi?"tanyanya. Aduh, gue harus ngomong apa lagi, sih? Serba salah deh.

Karena percakapan aneh tadi, gue dan Pak Davin hanya diam sepanjang perjalanan. Bahkan, ketika mobil mewah yang gue tumpangi ini memasuki basement, masih belum ada satu patah kata pun yang keluar. Enak aja kalau harus gue yang ngobrol duluan. Biarpun jomlo, tapi gue terhormat. Gak mau damai sebelum pihak lawan memulai.

Akhirnya kami sampai di sebuah tempat kosong. Pak Davin memarkirkam mobilnya di sana. Setelah itu, ia mematikan mesin mobil dan membuka sabuk pengaman. Dia keluar dari mobil tanpa pamit ke gue. Dan gue udah faham, itu adalah perintah tidak langsungnya yang seolah mengatakan 'Keluar Sen'.

Gue ikut keluar dari mobil. Setelah itu, gue berjalan menghampiri Pak Davin.

"Kamu jalan duluan. Saya ngikut dari belakang."ujarnya. Gue pun mengangguk dan berjalan menuju lift.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang