Bagian 38-Heran

907 73 0
                                    

Luka luka luka yang kurasakan. Berbitu bitu bitu bitu bitu bitu bitu bitu bitu bitu.....

IG : LULU_RIZKISAL.ICE
Happy reading guys
{°°°}

Gue menyimpan gitar milik orang lain di bagian belakang panggung. Lagi dan lagi gue lupa akan Cheetah. Gue malah meninggalkannya di tempat kos. Haduh, kayaknya Cheetah sudah marah besar kali ini. Sudahlah Baby Cheetah tidak kembali selama berbulan-bulan, Cheetah pula ketinggalan. Lengkap sudah penderitaan gue ini.

Hari ini gue kembali membantu Entog. Dia mendapatkan pekerjaan untuk mengisi acara hiburan di sebuah pernikahan. Selain gue yang memang membutuhkan dia karena harus mencapai target di tempat yang jauh, gue juga merasa memang harus membantunya. Ya, membantu di mana penghasilan tidak dibagi dua. Entog sudah rela menjemput gue di kos-an kemarin. Jadi, ini adalah tanda terimakasihnya.

"Udah siang banget, ya."ujar Entog saat dia mengemas barang bawaannya. "Makan dulu, yuk!"

Gue lalu mengangguk. Kalau masalah makan untuk apa gue menolak. Lagi pula kalau makan di sini, gue tidak akan tahan. Melihat pasangan suami istri baru yang masih romantis itu membuat nafsu makan gue hilang. Iyalah, gue kesal. Gue, kan, jomlo.

Entog lalu menaiki motor. Sudah pasti gue mengikutinya. Setelah motor dinyalakan, kami mulai menjauhi tempat nikahan itu. Tujuan kami kali ini adalah rumah makan ayam. Gue selalu meminta ayam kalau makan dengan Entog. Selain rasanya enak dan harganya murah, tempat itu cukup dekat dengan kampus gue. Tentunya gue menjadi langganan di sana belakangan ini.

Gue turun dari motor saat restoran itu sudah ada di depan mata. Harum ayam yang renyah sudah bisa gue rasakan. Aroma ini bahkan bisa membuat gue tersenyum tak karuan. Huah!

"Ayo!"ajak Entog. Gue lalu mengangguk dan mulai mengikutinya. "Kenapa, sih, harus ayam lagi? Kan, bisa beli daging yang lain. Sapi, kek, apa kek. Bosen gue."

Gue lalu menatap sahabat gue itu dengan malas. Kedua bola mata gue diputar saat mendengar ucapan Entog.

"Ya, emang, sih. Tapi coba, sapi itu kenyal dan susah dikunyah. Harganya mahal pula. Kalau ayam, udah enak, cocok pakai bumbu apa pun, murah lagi."balas gue.

Entog lalu menyentil kening gue. Wajahnya nampak datar. Gue mengaduh sambil menutup kening gue. Anak ini, mau gue sentil juga pakai linggis, hah?

"Terserah lo, deh. Gue bagian bayar aja."balas Entog.

Kami lalu mulai mendekati satu kursi yang berada di dekat jendela. Di sana gue bisa melihat jalanan yang dilewati banyak kendaraan. Selain itu, tempat ini jarang dihuni oleh para buciners. Makanya tempat ini paling cocok untuk gue dan Entog yang baru saja putus cinta. Haha!

Kami memesan makanan dan makanan pun sampai. Gue makan dengan cukup lahap. Huah, sungguh nikmat.

"Sen, tahu gak?"tanya Entog tiba-tiba.

Gue lalu memandang ke arahnya. Dia nampak tersenyum lebar. Entah mengapa tapi gue sudah bisa mencium bau-bau kegaringan akan segera terjadi.

"Apa?"tanya gue.

"Ayam, ayam apa yang-"

"GAK TAHU. OH, ITU JAWABANNYA HAHAHAHAHA!"teriak gue.

"Belum juga gue nany-"

"Gue udah bisa meramal kegaringan yang akan hadir, To. Saking busengnya candaan lo, gue udah bisa tebak."

Entog lalu menunjukkan mulut bebeknya. Dia melanjutkan makan setelah melihat gue kembali lahap. Gak, gak bisa. Gue tidak boleh kehilangan nafsu makan di saat seperti ini. Ayamnya terlalu enak untuk disia-siakan.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang