Bagian 45-Ungkapan

992 90 0
                                    

Kalau malu mengakui perasaan, tidak usah dibicarakan. Cukup tunjukkan dengan kelakuan. Biar aku yang mulai duluan.
-Davinda Arjuna Yusuf

IG : LULU_RIZKISAL.ICE
Happy reading guys
{°°°}

Gue duduk di bangku tunggu bersama Adinda. Ya, hari ini gue tengah mengantar Adinda untuk mengambil obat mama-nya di Apotik Rumah Sakit B. Gue sempat bertanya mengapa dia jauh-jauh datang ke sini, padahal banyak apotik yang lebih dekat. Namun, alasannya sederhana. Dia ingin melihat Dokter Dimas kalau-kalau beliau tiba-tiba muncul.

Gue membuang nafas dengan lemas. Mata gue memang sudah tidak sembab, tidak bengkak, namun hidung gue terasa masih ingusan. Gue kesal. Kenapa gue bisa selebay itu, ya? Aneh sekali kawan.

"Masih lama kayaknya."ujar gue pada Adinda. Dia hanya memainkan ponselnya sambil tersenyum. "Tuli! Gue cabut, ah!"

"Eh, jangan marah dong!"

"Siapa yang marah? Gue mau ke kamar mandi bentar."

"Mau ditemen-"

"Gak usah. Gue bukan bocah SD sampai dengan SMP."

Setelah mengatakan itu, gue langsung membuka langkah gue. Rok gue mulai sibuk bergoyang saat kaki gue dibuka. Tangan gue menggosok hidung yang basah. Haduh, pilek. Ingus ini kenapa harus mencair? Gue tidak suka.

Gue menundukkan kepala gue. Entah mengapa bagian belakangnya serasa sangat berat. Mungkin gue terkena flu. Entah penyebabnya apa namun gue yakin, salah satunya adalah kurangnya asupan kasih sayang. Sepertinya sesudah pulang mengantar Adinda, gue harus membeli obat. Besok ada acara, gue tidak boleh sampai seperti ini.

"Sena?"ujar seseorang yang berhasil mengejutkan gue. "Bener, kan? Sena."

Gue mengangguk. Mata gue yang sedikitnya masih terasa perih ini mencoba meneliti orang yang ada di hadapan gue.

"Dokter Dimas?"balas gue. Beliau lalu mengangguk. Wah, kebetulan sekali.

"Makin cantik, ya."ujarnya. Gue seketika muntah bunga.

Tidak, gue tersipu malu.
"Dokter juga makin keren aja, dok."balas gue. Beliau hanya tertawa.

Niat gue untuk ke kamar mandi tiba-tiba pupus di tengah jalan. Dokter Dimas yang membuatnya demikian. Dia malah mengajak gue bertemu Adinda saat tahu dia juga ada di sini. Kami berjalan beriringan, dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Entah mengapa, gue jadi suka senyum-senyum sendiri di dekat Dokter Dimas.

Seolah sudah berunding dengan gue, Dokter Dimas membuka kakinya dengan perlahan. Sepertinya dia tidak mau begitu terburu-buru untuk sampai di ruang tunggu. Baguslah. Gue jadi bisa lebih lama bersama dia. Walau mungkin kedengarannya salah, tapi gue suka, kok. Luka gue seolah diobati. HAHA.

Tawa dan canda mulai dikeluarkan oleh pria itu. Gue semakin senang berada di sampingnya, entah mengapa. Beliau seolah mengingatkan gue pada seseorang. Untung saja gue mengantar Adinda. Kalau tidak, hati gue akan tetap hancur. Oh, iya, hati gue!

"Dok,"ujar gue di sela-sela percakapan kami.

Pria itu lalu memutar lehernya. Ia menatap gue dengan senyuman yang sangat indah. Tapi, bukannya terpesona, gue malah ingat seseorang. Hah, senyum. Terus senyum aja, dok.

"Aku mau nanya."ujar gue. Sok imut? Ya, gue sadar. Gue emang imut. "Kalau Pak Davin itu sakitnya sudah sembuh?"

Dokter Dimas mengerutkan alisnya. Mohon! Dia ganteng banget!

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang