Bagian 12-Adinda

1.2K 108 1
                                    

Hai, para pembaca. Terima kasih atas semua waktu yang kalian luangkan untuk novel ini. Saya tahu ini garing, tapi saya akan terus mencoba menyuguhkan cerita terbaik untuk kalian.
Klik bintangnya, ya.
Selamat membaca.
{°°°}

Entah berapa minggu gue lewati dengan penuh drama. Ya, semenjak kejadian gue berantem sama Pak Davin, dia jadi sering kontak gue. Kecuali di kelas. Kalau di kelas gue yang kontak dia karena harus menjawab semua pertanyaan yang diajukan sebagai tantangan. Dan karenanya gue jadi jarang buka hp untuk menghindari Pak Davin.

Bahkan, Baby Cheetah masih di rumah Kana dan Cheetah masih di mobil Pak Davin. Gue jadi berangkat bareng Entog karena Adinda lebih suka naik ojol. Berhubung Entog berangkatnya subuh, gue jadi bisa barengan dia. Dan perform, gue jadi pakai gitar pinjaman terus.

Selama itu Pak Davin terus ganggu gue. Beres kelas, nanya, ajak ngobrol. Di kantin, nanya, ajak ngobrol. Mau pulang, nanya, ajak ngobrol. Bahkan, ketika gue mau bersemedi di kamar mandi pun, dia nelpon gue. Gusti, ini orang belum pernah gue suapin adukan semen kali, ya.

Sabar, Sen. Beliau dosen, lo. Abah Dosen lo.

Tapi, entah dia udah lelah atau apa, dia gak menghubungi gue beberapa hari terakhir. Kata yang ia ucapkan sebelum berhenti menghubungi gue adalah 'kita break dulu sebentar. Kalau kamu udah baikan, kita perbaki lagi'. Perbaiki? Haha. Apakah bapak berpikir kalau hati saya ini mesin yang bisa diperbaiki dengan mudah?

Karenanya, gue merasa senang. Bahkan, ketika mendengar perkataan itu keluar dari mulutnya, gue hendak mengadakan hajatan buat syukuran. Gue niat mengundang seluruh artis di Indonesia untuk merayakannya. Tapi, gue urungkan niat itu karena gue ingat, gue bukan sultan.

Ketenangan ini membuat gue lebih sering tersenyum. Sebenarnya, Pak Davin memang gak pernah mengekang gue. Tapi karena merasa kalau 'pacaran' yang ia akui ini hanya sepihak, gue jadi males. Gue gak suka orang gak jelas kayak gitu. Dia sendirinya aja gak jelas, apalagi hubungan kita nanti. Mau sampai blur tingkat burik gitu?

"Astagfirullah, Sen."ujar Adinda ketika kami menuju perjalanan pulang menaiki bis.

"Kenapa, Din?"tanya gue khawatir.

"Mama masuk IGD Rumah Sakit B. Katanya perlu rawat inap."

"Lho, kenapa bisa?"

Adinda lalu menggelengkan kepalanya. Ia menatap gue dengan tegang.

"Keadaannya gimana, ya?"

"Lebih baik lo pulang. Lihat keadaan mama lo."

Adinda lalu mengangguk. Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya. Setelah mengirimkan pesan itu, ia menyandarkan punggungnya pada kursi bis. Ia menghirup oksigen dengan tidak tenang.

"Kenapa lagi? Ada masalah lain?"tanya gue penuh kehati-hatian agar Adinda tidak tersinggung.

Adinda lalu menatap ke arah gue. Setelah itu, ia menurunkan pandangannya.
"Kayaknya bakal banyak biaya yang dikeluarkan."ujarnya sedikit berbisik. Bahkan gue hampir tidak bisa mendengar ucapannya.

Gue memutar otak gue. Segitu parahnya keadaan ekonomi dia? Sebagai seorang sahabat yang selalu bersamanya, gue bingung harus melakukan apa. Kalau masalah ibunya, mungkin gue bisa bantu dengan doa dan ikut merawat. Tapi kalau masalah ekonomi, gue gak bisa ikut campur terlalu dalam. Adinda bukan tipe orang yang suka meminta-minta demi menghidupi dirinya. Hal itu terkadang membuat gue harus berpikir keras untuk membantunya tanpa menyinggung perasaannya.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang