Bagian 47-Pria yang Bertanggung Jawab

1.1K 86 0
                                    

Follow akunku sebelum baca. Mau tiga eps lagi tamat, nih.

{°°°}

Dulu, gue pernah hendak menyelamatkan anak kucing dan seorang nenek. Setelah gue berhasil menyelamatkan mereka, gue hampir ditabrak oleh sebuah mobil hitam. Gue juga masuk ke Kampus A ini karena usulan dari Papak. Siapa yang tahu kalau ternyata Pak Davin adalah kenalan Papak yang hendak menabrak gue dulu. Dan lagi, hal yang membuat gue yakin dengan dia adalah, profesi aslinya yang ternyata hanya asisten Pak Burhan.

Kok gue bisa tidak ngeh, ya?

"Makanya,"ujar Pak Davin tiba-tiba. "Saya risih setiap kamu panggil saya 'pak'. Mulai sekarang, jangan panggil dengan sebutan itu."

Gue lalu memajukan mulut gue.
"Terus panggil pakai apa?"

"Honey, seperti awal."balasnya. Gue hanya bisa bergidik. Hih, merinding.

Sebuah rumah sakit yang dulu pernah gue kunjungi sudah ada di depan mata. Pak Davin, tunggu, Davin segera turun saat Bobig sudah diparkirkan. Dia berjalan dengan santai menuju pintu sebelah gue. Dengan tanpa perintah, dia membukakan pintu itu untuk gue.

Gue membenahi posisi Arya sebelum keluar dari Bobig. Setelah nyaman, gue segera membuka kaki gue. Davin sempat membantu gue dengan membuka pintu itu lebih lebar. Karenanya, gue bisa keluar dengan mulus. Walau begitu, guncangan tubuh gue tetap membuat Arya terusik.

Gue mengeyong Arya. Untunglah dia anak yang baik. Dalam beberapa kali eyongan saja dia sudah bisa kembali tertidur. Namun, BRAKK!! Suara pintu mobil yang ditutup dengan keras membuat Arya kembali membuka matanya. Alhasil, gue harus mengeyongnya lagi.

"Ssst, jangan berisik!"bisik gue pada Davin. Dia hanya menutup mulutnya.

Padahal yang menutupkan pintu Bobig adalah tangannya, kenapa dia menutup mulutnya?

"Maaf,"balasnya. Gue hanya mengangguk.

Setelah itu, Davin mengajak gue memasuki rumah sakit. Dia melingkarkan tangan kanannya di belakang tubuh gue. Walau pun tidak mengenai gue sama sekali, namun jantung gue tetap berdegup kencang. Haduh, kenapa gue tidak bisa kontrol diri, sih? Beliau tidak menyentuh sedikit pun baju gue, kenapa gue gede rasa begini?!

"Kepanasan banget, ya? Muka kamu merah."ujar Davin. Gue hanya menggelengkan kepala gue sambil terus komat-komit. Santai dong, jantung. Jangan seperti ini. Ayo kerja sama.

Tiba-tiba Davin membuka jasnya. Langkahnya agak melambat yang membuat gue ikut memperkecil langkah gue. Pikiran gue langsung tertuju pada cuaca. Oh, mungkin dia merasa gerah karena jasnya memang cukup tebal. Lagi pula kenapa dia suka sekali pakai jas kemana-mana?

Gue menutupi wajah Arya yang sepertinya kepanasan. Tidak rela kalau anak berkulit kuning langsat ini harus terbakar sinar matahari membuat gue menutupinya dengan tangan. Namun, tiba-tiba sebuah bayangan menutupi tubuh gue. Apakah ada awan? Karenanya gue langsung mendongak untuk mencari asal keteduhan ini.

Dan gue menyesal melakukannya. Jantung gue semakin tidak bisa diatur.

Ternyata jas yang dibuka oleh Davin itu bertujuan menutupi tubuh gue. Tidak, jangan gede rasa. Pasti dia sengaja menutupkan jas untuk Arya. Ya, pasti bukan gue. Walaupun parfum khas-nya berkeliling di hidung gue, namun gue jangan sampai salah tingkah. Dia memayungi gue pasti karena gue menggendong Arya.

"Bukan,"ujarnya tiba-tiba. Gue langsung menatap manik matanya. "Kalau untuk Arya, pakai tangan besar saya juga anak ini sudah terlindungi. Tapi kalau kamu, tidak bisa. Jadi saya pakai jas ini biar kamu gak kepanasan."

Dengan segera gue menggigit bibir bawah gue. Parah, parah, parah! Apakah omongan gue bisa didengar olehnya? Malu!

"Lho,"ujar Davin tiba-tiba. "Kok dipayungin malah makin merah wajahnya? Jasnya ketebalan, ya? Saya cari dulu payung."

"GAK USAH!"teriak gue dengan nafas terengah-engah. Dan untuk menutupi rasa malu, gue menunjukkan gigi-gigi gue. "La-lagian bentar lagi sampai, kan?"

Davin lalu mengangguk. Dia memberikan senyumannya pada gue. Mungkin sekarang, wajah gue sudah semerah tomat.

{°°°}

Gue berdiri dari kursi tunggu saat tiga orang tengah menghampiri. Di sana nampak Bu Ika, Pak Aka, dan seorang wanita tengah berjalan menuju kami. Wanita itu, pasti Kak Divana. Cantik sekali. Bahkan, bisa dibilang dia memiliki perawakan dan wajah bak model. Pantas saja Davin tampan. Eh, apaan lagi?

Davin lalu mengiring gue. Tangan gue masih memeluk Arya dengan kuat. Sebentar lagi, dia akan kembali pada ibunya. Memang bukan hak gue untuk terus mengurus Arya, namun dia adalah bayi yang baik. Bayi yang membuat gue kembali bersatu dengan Davin. Sayang kalau dia harus pergi begitu saja.

Kami sudah semakin dekat dengan Kak Divana. Dan semakin dekat, semakin nampak wajah cantiknya. Gue bahkan bisa menyangka dia lebih muda dari gue. Sungguh cantik.

Namun tiba-tiba saja ekspresi Kak Divana berubah. Hal itu membuat kaki gue berhenti bergerak. Bagaimana tidak? Dia terus menatap Arya dengan tatapan menakutkan. Tidak, tatapannya adalah tatapan kebencian. Gue tahu, gue seharusnya sadar. Ternyata, anak ini adalah anak selingkuhannya.

Tapi, tidak mungkin. Pak Aka dan Bu Ika adalah orang yang sangat baik. Bahkan Davin juga begitu ramah. Kalau Kak Divana memang melakukan itu, gue pasti tidak mempercayainya. Ya, pasti ada alasan yang masuk akal.

"JAUHKAN!"teriak Kak Divana tiba-tiba. Karena gue sadar akan kebenciannya, gue segera memeluk Arya semakin erat dan mempersiapkan diri.

"Kak, jangan begini terus. Kakak yang mau melihat Arya, kan?"tanya Davin.

"PERGI!"teriaknya lagi.

Bu Ika dan Pak Aka langsung menenangkan Kak Divana yang kembali tak bisa mengontrol diri. Begitu berat bebannya hingga bisa menjadi seperti itu. Gue hanya bisa berdoa agar anak ini baik-baik saja ke depannya. Bahkan, gue terus mengusap wajahnya. Terus dan terus sampai sesuatu terjadi.

"DIA BUKAN ANAKKU!"teriak Kak Divana.

Tanpa aba-aba, dia langsung mengambil sebuah pot kecil. Dengan gerakan yang cepat, tangannya melempar pot itu ke arah gue, tidak, ke arah Arya. Gue hanya panik hanya bisa melihat pot itu sebagai titik. Gue tidak bisa berpikir jernih. Lemparannya akan mengenai Arya.

TRAKKK!!
Pot itu pecah begitu saja. Gue hanya bisa membuang nafas dengan lemas karena terkejut. Dengan perlahan, gue melihat wajah Arya. Dia, masih tertidur lelap. Untunglah. Dia baik-baik saja.

"Sena!"ujar Davin. Dia menatap gue dengan tajam. "Kepalamu berdarah!"

"Tak apa. Asal Arya selamat."

"JANGAN SOK BAIK!"ujar Kak Divana. Kali ini beberapa pihak rumah sakit mulai berdatangan. Namun, kedatangan mereka tidak sempat membuat Kak Divana menghentikan gerak tangannya.

Satu buah pot lagi hendak dilemparkan ke arah gue. Kali ini, darah mulai mengalir lebih deras dan rasa sakit mulai terasa. Tapi mungkin, gue masih bisa menahan satu pukul lagi sari pot keras itu. Ya, gue bisa. Walau pun gue mencoba menghindar pun, lemparannya terlalu kencang.

TRAKKK!!!
Pot itu kembali pecah berkeping-keping. Namun, kepala gue masih sakit seperti awal. Rasa sakitnya tidak bertambah. Apa ini? Apa gue terlalu kebal sekarang?

Gue langsung berbalik. Hal yang gue melihat membuat gue langsung tersenyum. Ternyata, tangan besar Davin berhasil menghalau gerakan pot itu. Tangannya berdarah dan terluka cukup banyak. Mungkin, ada beberapa bagian yang robek karena pot kaca itu.

Beberapa petugas mulai mengambil Kak Divana. Gue sempat hendak melihat kejadian itu, namun Davin langsung menghalanginya.

"Tidak usah dilihat. Fokus saja pada mata saya."

Gue lalu mengangguk. Pandangan gue semakin tidak jelas. Nafas gue mulai pendek. Bahkan, gue tidak sadar saat Pak Davin mengambil Arya. Gue tidak sadar saat beliau menuntun gue menuju suatu ruangan. Yang gue sadari, tangan terlukanya masih kuat menggopong gue sampai ke ruangan ini. Walau pun darahnya sudah keluar tak karuan, namun dia masih sanggup menekan luka gue.

Ternyata benar. Dia pria yang bertanggung jawab.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang