Bagian 16-Malam Minggu Dengan Pak Davin?

1.2K 109 1
                                    

Hai, readers! Bagaimana ceritanya? Seru, garing, atau seru dan garing? Terus baca sampai akhir cerita, ya! Vote, comment, dan jaga kesehatan. Perbanyak ibadah.
Selamat membaca.
{°°°}

Gue memetik senar-senar Cheetah yang sedikit kendor. Jemari gue masih asik menari di atasnya. Tubuh gue terasa begitu nyaman ketika kursi menyentuh punggung gue. Mata gue ditutup agar rasa nyaman semakin mendalami diri gue. Mulut gue masih terus menyenandungkan lagu Sadis dari Afgan. Entah mengapa gue suka sama lagu ini sekarang, apalagi sama orangnya.

Setelah gue selesai menyanyikan lagu itu, gue lalu mulai medentingkan Fur Elise. Senang rasanya udah bisa kayak biasa lagi. Setiap malam minggu, nyanyi sendiri ditemani Cheetah. Sudah seperti ritual bagi gue yang jomlo akut ini untuk melakukan hal itu. Kalau gak bisa, serasa ada yang kurang, kayak beberapa minggu ke belakang.

Sekitar pukul sepuluh malam, gue masih duduk di kursi depan, bermain bersama Cheetah dengan baju tidur dan kerudung yang dipakai asal. Gue ulang terus lagu Sadis dan Fur Elise karena gue merasa punya temen kalau gini. Para penghuni kos kebanyakan pergi ke bioskop bareng pacar mereka. Maka dari itu, gue merasa lebih baik gini aja. Haha.

Tiba-tiba aja insting gue merasakan sesuatu. Seperti ada hawa-hawa menakutkan berada di dekat gue. Bulu kuduk gue mulai berdiri dengan serempak. Gue bahkan takut untuk membuka mata. Ada apa di samping gue?

"Kenapa belum tidur?"ujar sosok itu.

Sudah tahu siapa yang hadir, gue langsung merasa tenang. Gak heran kalau tiba-tiba gue merasa ketakutan. Hal itu dikarenakan orang yang hadir adalah Pak Davin.

Sebagai bentuk rasa hormat, gue membuka mata gue dan menurunkan kaki gue. Tangan gue berhenti memetik senar Cheetah dan senyuman gue mengembang.

"Belum, pak. Masih mau santai."balas gue seadanya.

Pak Davin lalu duduk di kursi sebelah gue. Harum pewangi pakaiannya langsung menyibak hidung gue ketika angin malam berhembus. Gue tahu merek dan bau apa yang ia gunakan untuk bajunya. Iya lah, orang baju gue juga harumnya sama. Asem, kan? Malam minggu gue gagal lagi?

"Kamu kayaknya suka banget nyindir saya."

Gue lalu mengerutkan alis gue. Mata sayu gue menatap Pak Davin yang tengah memutar matanya untuk melihat keindahan malam.

"Enggak, kok, pak. Kapan saya nyindir bapak?"

"Pertama, ketika kamu menyanyi lagu When We Were Young. Kedua lagu Sadis tadi. Kamu gak nyadar?"

Gue makin bingung. Kalau udah malam gini, gue males marah-marah, males bercanda. Karenanya gue gak mengumpat dari tadi. Gue ingin menikmati malam minggu ini. Eh, malah dibuat kacau oleh Pangeran Macha Taro.

"Cause I've been by myself all night long. Hoping you were someone, I use to know. Kayaknya kamu berusaha untuk menyampaikan itu pada saya, kan? Lalu Sadis. Dari awal saja saya sudah tahu kamu menujukan lagu itu pada saya."ujar Pak Davin dengan datar. Gak ada ekspresi. Udah kayak TTS aja Si Bapak, MENDATAR.

Gue semakin mengerutkan alis gue. Kayaknya alis gue udah membentuk jembatan saking kerasnya gue mengerutkan kening. Gue bahkan sempat membuka mulut gue sebentar, namun kembali ditutup karena angin malam kurang bersahabat. Ini gue yang julid atau Pak Davin yang gede rasa?

"Tapi, pak. Sumpah, ngapain saya nyindir bapak."balas gue ringan. Ringan aja, gak usah berat-berat. Cukup cinta aku ke kamu aja yang berat.

"Jangan bohong. Kamu berharap saya pernah mengisi hidup kamu, kan?"ujar Pak Davin. Mungkin gue butuh musik dangdut buat joget lagu Mbah Dukun bagian 'pergilah kau setan'. Oh, jangan lupa. Gue sekalian akan nyemburin air comberan ke mukanya.

"Lagu Sadis juga. Kamu itu salah faham."

"Salah faham gimana, pak?" tanya gue spontan. Gue udah gak bisa nahan lagi. Pegangin gue Cheetah, gue takut melayangkan pukulan ke dosen tersayang gue ini.

"Sebenarnya, wanita yang bersama saya itu, bukan mantan pacar. Tapi mantan teman."

"Emang boleh punya mantan teman?"

"Boleh. Orang saya udah gak berteman lagi sama dia."

Gue membulatkan mulut gue. Gila, gue ternyata salah sangka! Waktu Pak Davin ngomong 'mantan' itu ternyata dia belum beres ngomongnya. Aduh, malu lagi, kan. Hah, cape gue.

Gue menghela nafas. Kayaknya gue akan sedikit terjebak di dalam pikiran gue sendiri. Gue harus memikirkan bagaimana cara gue minta maaf tanpa harus membuatnya ingat akan hubungan gue sama dia. Kali ini aja dia bisa ngertiin gue.

Selang tiga puluh detik, kira-kira, berlalu. Gue hanya bisa menarik dan membuang nafas dengan tenang selama itu. Walaupun sebenarnya gue terus memikirkan kalimat apa yang pantas gue ucapkan, tapi mulut gue seolah enggan. Mereka mungkin sekongkol untuk membuat kecanggungan ini semakin menjadi.

"Langitnya indah, ya, pak. Cantik."ujar gue spontan. Gue ikut menatap langit yang penuh bintang dengan Pak Davin. Pantas saja dia nyaman, pemandangan malam ini indah sekali.

"Iya, seperti kamu."

Sedikit tapi nyelekit itu definisi dari ucapan Pak Davin tadi. Mungkin sebagian wanita akan meleleh atau berbunga-bunga mendengar gombalan dari seorang pria tampan seperti Pak Davin. Tapi gue enggak. Karena udah terbiasa dikatain sejak SD, gue jadi gak percaya sama orang yang nyebut gue cantik. Bahkan, gue berpikir kalau orang itu menghina gue.

Pak Davin menatap gue, gue bisa merasakannya. Ia seolah meneliti setiap pori-pori yang ada di wajah gue. Asalkan kalian tahu, orang akan merasa tidak nyaman kalau ditatap selama lebih dari tiga puluh detik. Dan SI BAPAK INI GAK TAHU HAL SEPELE GITU?!

"Pak, maaf,"ujar gue mulai mengeluarkan pendapat. "Tapi, saya kurang suka dipuji."

Lagi dan lagi, tawa aneh itu keluar dari mulut Pak Davin. Astagfirullah, pegangin gue Cheetah. Tangan gue makin panas aja nih.

"Saya tahu,"balasnya ringan. Heh, sok tahu! "Kamu terlalu biasa mendapatkan sedikit kritikan sejak kecil, kan?"

Gile, eh, eh. Ini mulut gak ada akhlak. Gue terlalu kagum. Kok bisa dia tahu, ya? Gue gak pernah kasih tahu dia, lho. Gak mungkin juga kalau dia membaca pikiran gue. Dia bukan paraformaldehid, kan? Eh atau paranormal? Ah, pokoknya itu! Pusing gue mikirnya.

"Tenang. Saya itu tulus bilang kayak gitu. Beberapa orang yang pernah bilang gitu juga, sebenarnya sungguh-sungguh. Kamunya aja yang pesimis."

Gue mengambil hp berharga yang gue beli dengan barter keringat itu. Layarnya yang masih bening karena selalu gue mandiin itu menampakkan wajah gue. Gue memerhatikan bayangan wanita di sana. Sedikit demi sedikit gue sadar ketika setiap lekukan dan sudut dari bayangan itu gue fahami. Kayaknya Pak Davin masih belum dewasa hingga belum bisa membedakan mana yang cantik dan mana yang burik.

"Saya emang wajahnya biasa, pak."balas gue. "Tapi saya bersyukur karena dengan wajah ini saya terbebas dari hiruk pikuk percintaan."

Pak Davin memberikan senyuman terbaiknya sama gue. Mungkin. Dia lalu menarik nafas lewat mulut. Kayaknya dia udah sadar kalau gue nyebelin.

"Kamu ini, masih belum nyadar? Kecantikan itu gak harus dilihat dari warna kulit. Saya lihat kamu cantik. Kamu juga gak tahu seberapa banyak cowok yang mau nembak kamu tapi gak jadi karena kamu terlalu galak? Kamu itu, cantik. Percaya sama saya."

Gue lalu mengerutkan alis gue. Cowok yang mau nembak gue? Ternyata gue sadar, Pak Davin gak asal jadiin gue pacarnya. Dia udah tahu gue sejak lama dan kayaknya memerhatikan gue selama ini. Tapi, sejak kapan?

Sesuai rencana, karena sudah mencapai 200+ aku akan mulai update tiga kali seminggu. Yoroshiku onegaishimasu, mohon bantuannya teman-teman😊😊😊😊

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang