Bagian 14-Anak Ibu Kos

1.2K 104 1
                                    

Hai, para pembaca. Terima kasih atas semua waktu yang kalian luangkan untuk novel ini. Saya tahu ini garing, tapi saya akan terus mencoba menyuguhkan cerita terbaik untuk kalian.
Klik bintangnya, ya.
Stay health, Selamat membaca.
{°°°}

Gue turun dari panggung. Gitar yang awalnya gue peluk, langsung dipindah alihkan pada tangan Entog. Gue memukul lengannya sedikit sebagai ucapan selamat karena dia berhasil atas misinya.

"Selamat, ya. Untung aja cewek itu mau nerima lo. Kalau enggak, bakal mati karena malu kayaknya."ujar gue. Entog pun tertawa hingga matanya hampir tertutup.

"Makasih, ya."balasnya. Ya, memang sih. Kalau hari ini gue gak manggung, dia akan agak kesulitan ketika menyatakan perasaannya pada cewek itu. Itulah kenapa dia bilang terimakasih pada gue.

Entog lalu berjalan menuju seorang pria. Ya, dia adalah kenalan Entog alias pemilik cafe. Entog hendak memberikan gitar yang gue gunakan tadi. Dari kejauhan gue bisa melihat pria pemilik cafe itu sedikit menepuk bahu Entog. Kayaknya pernyataan cinta yang dilakukan Entog kali ini cukup heroik, di mana kalau gak diterima dia bakal kehilangan pekerjaannya.

Seseorang bertepuk tangan dari belakang gue. Dengan spontan, gue langsung membalikkan tubuh gue. Di sana gue bisa melihat Geri dengan senyuman lebarnya. Senyumannya dibalas oleh gue dengan senyuman lebar juga.

"Hebat! Gue gak nyangka lho."ujarnya.

Gue mengangkat kedua bahu gue.
"Thanks," balas gue ringan.

Kami lalu saling melemparkan senyuman.

"Mau gue anter pulang? Kayaknya artis kita udah lelah."

Geri menawari gue pulang bareng? Gue mencium bau-bau modus di sini. Jangan-jangan dia mau minta kue limited edition gue.

"Maaf, tapi gue mau pulang bareng temen."

Geri lalu mengangkat bahunya. Ia berusaha tersenyum sebelum akhirnya melambaikan tangan untuk berjalan mendahului gue.

Ingat akan Entog, gue lalu menatap ke arahnya. Setelah mendapatkan dua buah amplop yang gue tunggu-tunggu, Entog lalu mendekati gue. Dia berjalan dengan santai. Tangannya yang tengah memegang salah satu amplop langsung disodorkan ke gue. Tentunya gue terima.

"Gue aja yang nyupir. Gue gandong tas kok. Jadi lo.."

"Sorry banget, nih, Sen. Kayaknya gue mau jalan dulu sama Iren. Lo naik bis gak apa-apa? Gue ongkosin, ya?"

"Tapi, bukannya Iren bawa motor, ya? Lo kasih lihat motornya tadi, kan?"

Mulut gue mulai geram, ingin segera berdebat. Gue tahan emosi gue agar gak meluap. Masalah sepele gini mah, gak usah digedein.

"Gue gak bisa biarin dia pulang malam sendirian."

Gue mematung ketika mendengar perkataan Entog. Gue memang udah terbiasa naik bis, tapi kenapa kali ini gue seolah gak mau. Lagian ini masih menjelang malam! Langit masih terlalu terang untuk seorang penakut. Karenanya, hati gue sedikit merayu tenggorokan gue agar terasa sakit karena menahan air mata. Entah kenapa, gue maunya pulang bareng sama Entog kayak biasa. Gak mau naik bis. Apa gue takut kecolok pancingan lagi?

"Gue ba.. "

"Gak usah,"balas gue kecut seolah marah. "Gue masih sanggup bayar ongkos."

Gue lalu membalikkan tubuh gue dengan cepat tanpa mau melihat ekspresi Entog. Langkah gue diperlebar. Beberapa orang yang tahu kalau gue lah pemain gitar tadi, sedikit memberikan senyuman dan semangat. Namun, hati gue gak bisa menerimanya.

Abah Dosen [COMPLETED] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang