43: Yang Sebenarnya

9.5K 885 105
                                    

43: Yang Sebenarnya

°°°

Ting!

"Kepala lo masih sakit?"

Saat Varo masuk ke dalam apartemen Amanda, dia menemukan cewek itu sedang duduk sambil menonton televisi di ruang tamu. Di tangannya memegang semangkuk sop untuk makannya. Namun, tidak ada tanda-tanda ia ingin memakannya.

Melihat kedatangan Varo, Amanda langsung tersenyum meskipun wajahnya sangat pucat. Tapi entah kenapa melihat ada Varo, rasa pusngnya dan panas di tubuhnya mendadak hilang.

"Varo? I-iya. Masih agak pusing," jawabnya.

"Mau gue bawa ke rumah sakit gak?" tanyanya perhatian, tapi lebih karena perhatian seorang cowok kepada sahabatnya.

Yang ditanya menggelengkan kepalanya lemas. "Gak usah, Al. Gue cuman demam doang, kok. Lebay rasanya kalo dibawa ke rumah sakit."

Varo duduk di samping Amanda lalu dia menyomot steak di depannya. "Muka lo pucet gitu, kok. Makan dong sopnya, lo gak sekolah ntar banyak yang nanyain 'Amanda ke mana?' 'Iya nih, kok gak masuk ya?' pasti nanya gitu."

Amanda mengangguk, manik matanya masih melihat ke arah televisi yang menyiarkan berita selebrity. "Iya. Agil tadi chat gue. Katanya banyak yang nanyain, tapi gue cuman bilang 'oh' sama 'bilangin trimakasih, ya' doang."

"Hm ... cuek juga lo sama mereka. Jangan gitu, ah, ntar jadi pindah haluan lho mereka. Gini-gini, gue bangga juga punya sahabat kayak lo. Famous, sih. Padahal baru seminggu."

Gue bangga juga punya sahabat kayak lo.

Amanda tersenyum kecut. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Varo. Wajahnya yang tampak letih dan pucat itu dia abaikan. Ia berusaha menahan rasa pusingnya dengan menjadikan bahu Varo sebagai obatnya. Rasanya nyaman sekali bersender di bahu orang yang kita sayangi. Sangat nyaman.

Jika di sini ada Natasya, entah apa yang dilakukannya selain menahan cemburu dan mungkin akan pergi secepatnya dari hadapan mereka.

"Lo mau ngomong apaan, Nda? Katanya penting," ucapnya berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi hening.

"Bentar," katanya dengan suara seraknya, "gue harap lo gak menjauh dari gue setelah gue ngomong ini. Gue harap lo gak mutusin tali persahabatan kita yang udah kita jalin semenjak kita SMP."

Mulut Varo berhenti mengunyah steak itu. Dia melirik ke Amanda yang masih tetap bersandar di bahunya.

Varo terkekeh garing. "Lo ngomong apaan, sih? Ya udah ngomong tinggal ngomong aja, gak usah pake pembukaan gitu, deh."

"Al ... janji ya gak akan marah?" Amanda menjulurkan jari kelingkingnya.

Varo memperhatikan jari itu sebentar, lalu menautkan jari kelingkingnya ke situ juga. "Iya, Nda, iya. Bilang aja bilang. Susah amat, ya ampun."

"Tapi gue malu."

"Lah ilah. Perlu gue pinjemin toa mesjid biar lo tambah malu? Kayak ngomong sama siapa aja lo. Buruan, gue udah ditungguin ayang mbeb."

Amanda menghela napas. Sudah waktunya dia berkata jujur tentang perasaannya yang sudah lama terpendam agar dia lega. Bukan apa-apa, jika dia tidak mengatakannya, rasa berharap itu malah semakin besar dan membuatnya tidak mampu melupakan Varo.

ALVALERRON ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang