08. Lampu Hijau

170 17 56
                                    

Hingga detik ini, Rishi masih belum menemukan alasan untuk tidak lagi murung. Ia hanya duduk malas di depan TV sembari menggonta-ganti saluran. Di sisi kanan dan kirinya, ada Jai dan Sonu yang sibuk bermain game, sesekali berteriak membuat Rishi semakin sebal saja. Apalagi dalam keadaan lapar, sedih juga butuh tenaga. Masakan Jai tadi hanya cukup dimakannya sendiri bersama Sonu, sedang Rishi, tidak mendapat bagian sama sekali. Kejam.

"Aku mau keluar cari makanan," ucap Rishi pada kedua sahabatnya.

Dan tebak, apa respons mereka? Yap, jangankan merespons, menoleh saja tidak. Kemungkinan lainnya kedua orang itu memang tidak dengar.

Rishi mengedikkan pundak. Apa juga pentingnya izin kedua manusia itu? Tanpa lagi berkata-kata, Rishi menyabet kunci motor Jai yang tergeletak di meja. Pria jangkung itu lalu keluar bersama motor Jai—tanpa izin. Biar saja Jai merasa kehilangan motor.

Malam ini cukup sepi. Tidak banyak orang berlalu-lalang di jalan. Rishi jadi berpikir, alam ikut sedih atas patah hati yang ia alami. Kalau iya, ah, dramatis sekali. Tetapi dengan itu, Rishi juga kesal karena imbasnya tak mudah mencari kedai yang masih buka. Padahal, ini belum cukup malam. Dan masalah terbesarnya: Rishi sangat lapar! Rishi bahkan tidak ingat kapan bisa makan dengan lahap setelah Rhea menolaknya seminggu lalu.

"Ke toko manisan Singhania sajalah," putusnya.

***

Bersama segelas cappuccino, Radha mengamati sekitarnya yang didominasi anak muda seperti dirinya sedang duduk berpasang-pasangan. Sementara ia hanya sendiri karena Rohan masih belum kembali dari kamar mandi.

Dalam perjalanan pulang tadi, mendadak perut Rohan mulas, yang akhirnya mereka terdampar ke sini sebab Rohan ingin menumpang toilet.

Radha melirik jam di pergelangan tangannya, sudah pukul 8 malam. Kenapa Rohan belum kembali? Apa pria itu tidur di kamar mandi saking tidak sabar sampai di rumah? Atau jangan-jangan pingsan?

Bodoh! Mana mungkin Rohan pingsan. Paling-paling pria itu sedang diare karena terlalu banyak makan manisan.

Tunggu, pemuda yang duduk dengan jarak beberapa kursi di depannya itu kenapa mirip Rohan? Ada Meera juga di sana. Meera adalah teman satu sekolah Radha, yang juga terkenal sangat cantik sampai-sampai satu sekolah mengejar-ngejar gadis itu.

Tapi, laki-laki itu tidak mungkin Rohan, kan? Mana mungkin Rohan tega membiarkan dirinya duduk sendirian di sini selama berjam-jam, sementara pria itu malah bersenang-senang dengan Meera.

Radha harus ingat cita-cita Rohan yang katanya cuma satu itu: menjadi suami Radha.

Tiga tahun yang lalu, saat hari pertama masuk sekolah, salah seorang guru meminta para muridnya maju dan memperkenalkan diri.

Dengan sangat percaya diri dan bangga, Rohan yang duduk di bangku paling depan bersebelahan dengan Radha maju.

"Hai, Semua, perkenalkan namaku Rohan Singhania, pangeran kesayangan tuan dan nyonya Singhania sang pemilik toko manisan terbesar se-Madhya Pradesh. Itu sebabnya wajahku sangat manis, mengalahkan semua macam manisan di toko ayahku. Oh satu lagi, setelah aku lulus dari sini nanti, akulah pewaris tunggal toko manisan Singhania," katanya dengan percaya diri.

Semua murid menyoraki Rohan, sedang sang guru tersenyum melihat Rohan yang tidak ada canggung atau malunya untuk maju ke depan. Bahkan dengan sangat percaya diri mengikrarkan diri sebagai pewaris tunggal kerajaan manisan.

"Kau begitu pemberani, apa cita-citamu?" Sang guru memberi pertanyaan.

Dengan senyuman yang ia buat semanis dan sekeren mungkin, Rohan berkata, "Cita-citaku adalah, menjadi suami dari Radha Verma, membuatnya jadi wanita paling bahagia sedunia," katanya tak kalah PD dari yang pertama.

Stay A Little Longer (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang