35. Takdir atau Kebetulan?

85 9 105
                                    

Hampir satu jam lamanya Rhea berjalan tak tentu arah. Dinginnya angin malam yang terus-menerus bertiup membuat air matanya hampir mengering. Iya, dia menangis sejak melangkahkan kakinya keluar rumah.

Rasanya Rhea lelah; perjodohan, Rishi, keinginan bibi dan adik-adiknya yang selalu bertolak belakang, sungguh, Rhea lelah dengan semuanya. Beban ini sudah terlalu besar, Rhea rasa dia sudah tidak sanggup lagi.

Rhea duduk di pinggir sebuah taman. Dan lagi, tangisnya kembali pecah.

"Ibu ... Ayah .... Aku merindukan kalian," lirihnya.

Hatinya terasa sangat sesak. Andai, andai saja ibunya masih ada, bibinya tidak akan terus sibuk menjodohkannya. Dan paling tidak, ibunya akan mengerti dia tidak mau menikah. Ah, tapi bukankah para orang tua itu sama saja?

Rhea melipat kedua tangannya di atas lutut dan menyembunyikan wajahnya disana.

"Hei, jangan menangis, ada aku, kan?"

"Tapi aku ingin menangis, biarkan aku menangis, ya ...?"

"Ya sudah, kalau begitu menangislah. Biarkan air matamu melakukan tugasnya."

"Apa kau tidak akan mengusap air mataku?"

"Aku akan mengusapnya, tapi kau harus janji, jangan menangis lagi. Janji?"

"Ya, aku janji."

Rhea mengusap kasar air matanya. Ingatan itu ... setiap kali dia menangis, kejadian itu akan terputar otomatis dalam otaknya. Selalu begitu.

"Kau bilang ada kau, tapi kenapa kau pergi? Aku melanggar janjiku, aku menangis sekarang. Siapa yang akan mengusap air mataku?" isaknya pilu.

Seakan mengerti rasa sakit Rhea, hujan turun dengan derasnya mengguyur bumi. Angin dingin pun tak mau ketinggalan—bertiup dengan kencang. Dan Rhea sendiri, hanya bisa diam mematung, menengadahkan wajah, membiarkan tetes demi tetes air hujan mengenai wajahnya.

"Jangan main hujan, Rhea. Kau bisa sakit nanti."

Suara itu kembali menghampiri pendengaran Rhea.

Ia pun bangkit, menepi, dan berlindung di bawah sebuah pohon. Digosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk sedikit menghangatkan tubuh. Angin yang bertiup terasa menembus kulit hingga ke tulang. Apalagi Rhea yang hanya memakai salwar kameez berlengan pendek dan tanpa dupatta.

Entah dunia yang juga sedang bersedih atau bagaimana, hujan yang turun sangat deras dan seperti tidak mau berhenti. Sebenarnya bisa saja Rhea menembus hujan dan pulang, tapi dia punya kelemahan biasanya akan demam setelah kehujanan. Namun, berdiam di sini lama-lama juga sepertinya sama saja. Pohon besar ini tak cukup melindunginya dari guyuran deras air hujan.

Saat itu juga, sayup-sayup Rhea melihat seseorang berjaket hitam dengan rambut terlihat mengembang dan kepala terikat kain berjalan ke arahnya.

'Sial, jangan-jangan itu penjahat,' batin Rhea.

Tiba-tiba rasa takut menyergapnya. Entah apa yang merasukinya hingga bisa tiba di sini malam-malam begini. Dan catat, sendirian!

Sekarang air mata Rhea enggan keluar lagi. Sebaliknya, rasa takut mulai mendominasi. Tempat ini tergolong sepi, dan dia juga tidak membawa ponsel untuk minta bantuan seseorang.

Rhea memejamkan mata, berdoa dalam hati semoga sosok itu tidak melihatnya. Kalau iya, bisa celaka dia.

"Rhea?"

Rhea tersentak. Kedua matanya langsung terbuka lebar.

"R-Rishi? Kau?"

Rishi bergegas menghampiri Rhea sembari melepas jaketnya dan menyelimuti Rhea yang tengah menggigil kedinginan itu.

Stay A Little Longer (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang